Jumat, 12 Februari 2010

nyeri,,prostaglandin





Nyeri

Nyeri merupakan mekanisme untuk melindungi tubuh terhadap suatu gangguan dan kerusakan di jaringan seperti peradangan, infeksi jasad renik dan kejang otot dengan pembebasan mediator nyeri yang meliputi prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamine, ion kalsium dan asetilkolin (Tjay dan Rahardja, 2002). Menurut International Assosiation for The Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai sensasi yang tidak mengenakkan dan biasanya diikuti oleh pengalaman tertentu yang erat kaitannya dengan derajat kerusakan. Nyeri seringkali dikatakan sebagai respon terhadap stimulus yang merusak jaringan (misalnya: trauma fisik, mekanik, kimiawi, termal) dan kemudian menimbulkan aktivasi reseptor nyeri (nosiseptor) (Sujatno, 1998). Nosiseptor berupa akhiran saraf bebas tersebar di kulit, periosteum, dinding arteri, permukaan sendi, falk dan tentorium, rongga kranium. Nosiseptor mempunyai sifat tidak beradaptasi terhadap rangsang sehingga reseptor tetap dapat memberitahukan kepada individu tersebut akan adanya rangsang yang merusak (Mutchler, 1991). Ternyata, pada beberapa kondisi, eksitasi serabut rasa nyeri semakin bertambah secara progresif, terutama pada nyeri lambat, karena stimulus rasa nyeri berlangsung terus-menerus. Keadaan ini dapat meningkatkan sensitifitas reseptor rasa nyeri yang disebut hiperalgesia. Reseptor nyeri kebanyakan sensitif terhadap lebih dari satu stimulus walaupun ada beberapa reseptor nyeri yang hanya sensitif terhadap satu jenis stimulus (Guyton, 2000).

Menurut Mutchler (1991) reseptor sensorik secara fungsional dibedakan menjadi:

1. Kemoreseptor, reseptor ini peka terhadap rangsang kimiawi dan impulsnya diteruskan melalui serabut C.

2. Mekanoreseptor dan termoreseptor, reseptor ini peka terhadap rangsang mekanik dan termal impulsnya diteruskan melalui serabut saraf A delta.

Transmisi impuls dari nosiseptor dilakukan melalui serabut aferen A delta dan serabut aferen C (Ganong, 2000). Serabut A delta merupakan serabut bermielin, besar, konduksi cepat, menghasilkan nyeri yang jelas, tajam dan terlokalisasi. Sedangkan serabut aferen C merupakan serabut yang tidak bermielin, kecil, konduksi lambat dan menghasilkan nyeri yang tumpul, persisten.

Stimulus yang dapat menimbulkan rasa nyeri diantaranya adalah fisis, kimia, mekanik dan elektrik. Stimulus tersebut dapat berupa pemotongan, peregangan, kompresi, iskemi atau dapat berasal dari zat kimiawi seperti asam, basa dan garam. Termal yang menyebabkan nyeri sebesar 450C , sebanding dengan kerusakan jaringan. Nyeri oleh karena kimiawi juga dapat disebabkan penyuntikan bradikinin, ion K, dan enzim proteolitik dibawah kulit. Adanya stimulus-stimulus tersebut akan menyebabkan keluarnya mediator nyeri yakni prostaglandin (Kasper, 2005).

Prostaglandin adalah semua kelompok yang diturunkan dari asam lemak 20-karbon tak jenuh, terutama asam arakidonat melalui jalur siklooksigenase; prostaglandin terlibat dalam berbagai proses fisiologis (Dorland, 2005). Prostaglandin akan merangsang akhiran saraf dan diteruskan ke pusat sensasi nyeri oleh apparatus nyeri yang berupa jaringan serabut saraf sensorik hingga timbul sensasi nyeri (Kasper, 2005).

Biosintesis prostaglandin dimulai dari rangsang yang berupa kimiawi dan termik yang menyebabkan kerusakan membran sel, sehingga akan mengaktifkan enzim fosfolipase yang merubah fosfolipid dalam membran sel menjadi asam arakidonat yang selanjutnya akan disiklasi menjadi prostaglandin endoperoksida siklik dalam bentuk PGG2 (satu rantai peroksida) yang merupakan zat awal pembentukan semua senyawa prostaglandin dengan bantuan enzim siklooksigenase. Peroksida dari PGG2 ini melepaskan radikal bebas oksigen yang juga berperan pada timbulnya rasa nyeri. PGG2 kemudian akan diubah menjadi PGH2 (satu rantai samping hidroksil) dengan bantuan enzim endoperoksida isomerase dan peroksidase. Dari PGH2 ini akan dibentuk secara langsung prostaglandin primer yaitu PGE2, PGF2a dan PGD2. Perubahan PGH2 menjadi PGE2 dibantu oleh enzim PGE2 isomerase. Enzim PGF2a reduktase dan peroksidase mengkatalisis perubahan PGH2 menjadi PGF2a dan enzim PGD2 isomerase mengubah PGH2 menjadi PGD2. Dari PGE terbentuk prostaglandin A, B, dan C. Dalam trombosit PGG2 dapat diubah menjadi tromboksan A2 oleh tromboksan sintase. Tromboksan A2 yang tidak stabil diubah menjadi tromboksan B2 yang stabil dan tidak aktif. Zat lain yang dibentuk oleh PGG2 adalah prostasiklin (PGI1) yang disintesis di dinding pembuluh darah dengan bantuan enzim prostasiklin sintase (Mutchler, 1991).

Secara invitro terbukti bahwa PGE2 dan PGI1 dalam jumlah nanogram menimbulkan eritem, vasodilatasi dan peningkatan aliran darah local. Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas vaskular, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG, efek eksudasi histamin plasma dan bradikinin menjadi lebih jelas. Migrasi leukosit ke jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. PG tidak bersifat kemotaktik tetapi produk lain dari asam arakidonat yakni leukotrien B4 merupakan zat kemotaktik yang sangat poten (Wilmana, 1995)

Rangsang nyeri yang berupa kimiawi dan termik akan menyebabkan kerusakan jaringan yang akan diikuti oleh pelepasan mediator nyeri yang akan merangsang reseptor nyeri. Rangsang ini lalu diteruskan ke radix dorsalis medulla spinalis melalui serabut saraf aferen. Serabut-serabut saraf aferen berakhir di formasio retikularis. Dari formasio retikularis ini, impuls nyeri dihantarkan ke thalamus opticus, kemudian ke korteks serebri (untuk mengetahui lokasi nyeri), dari sini impuls juga akan dikirimkan ke serebellum. Serebrum dan Serebellum bersama-sama melakukan reaksi pertahanan dan perlindungan yang terkoordinasi (Mutchler, 1991).

Wilmana (1995) menyebutkan mekanisme penghambatan PG dengan penghambatan kerja enzim siklooksigenase yang berfungsi mengubah asam arakidonat menjadi endoperoksida sehingga sintesa PG dihambat. Obat analgesic yang efektif dalam memblok biosintesis prostaglandin ini misalnya aspirin. Obat ini merupakan golongan obat analgesic nonopioid yang dapat dipakai dalam menilai efek obat sejenis.

Karena sistem persarafan rasa nyeri ini bersifat rangkap, maka stimulus rasa nyeri yang hebat dan datangnya mendadak akan menimbulkan sensasi nyeri yang sifatnya “rangkap” : rasa nyeri tajam yang dijalarkan ke otak oleh jaras serabut A-delta, yang selanjutnya akan diikuti oleh sedetik atau lebih rasa nyeri lambat yang dijalarkan oleh jaras serabut C.

Sewaktu memasuki medulla spinalis dari radiks spinalis dorsalis, sinyal rasa nyeri melewati dua jaras ke otak, melalui tractus neospino-talamikus dan melalui tractus paleospinotalamicus.

Tractus neospinotalamikus untuk rasa nyeri cepat. Serabut tipe A-delta berakhir pada lamina I (lamina marginalis) pada kornu dorsalis dan merangsang neuron pengantar kedua dari tractus neospinotalamikus. Neuron ini akan mengirimkan sinyal ke serabut panjang yang terletak di sisi lain medulla spinalis dalam komisura anterior dan selanjutnya naik ke otak dalam kolumna anterolateralis. Beberapa serabut tractus neospinotalamikus berakhir didaerah retikularis batang otak, tetapi sebagian besar melewati semua jalur ketalamus berakhir di komplek ventrobasal disepanjang kolumna dorsalis tractus lemniscus medialis untuk sensasi raba. Dari sini sinyal akan dijalarkan ke daerah lain pada basal otak dan juga ke korteks somatosensoris.

Jaras paleospinotalamicus untuk menjalarkan nyeri lambat. Serabut nyeri tipe C di perifer hamper seluruhnya berakhir di lamina II dan III kornu dorsalis, yang bersama-sama disebut substantia gelatinosa. Sebagian besar sinyal kemudian melewati satu atau lebih neuron-neuron serabut pendek tambahan didalam kornu dorsalisnya sebelum memasuki lamina V melalui lamina VII, juga dikornu dorsalis. Dari percobaan penelitian diduga ujung serabut nyeri tioe C yang memasuki medulla spinalis mungkin mengeluarkan transmiter glutamate dan transmiter substansi P. Transmiter glutamate bekerja secara segera dan dan hanya berlangsung berapa milidetik saja. Sebaliknya substansi P dilepaskan jauh lebih lambat, mencapai pemekatan dalam waktu berapa detik bahkan menit. Kenyataannya ada dua nyeri “ganda” yang dirasakan seseorang setelah tusukan jarum (pinprick).

Jaras paleospinotalamicus berakhir secara luas dalam batang otak. Hanya sepersepuluh sampai seperempat serabut yang melewati seluruh jalur ke thalamus. Namun demilian, secara prinsip, serabut-serabut ini berakhir disatu dari tiga daerah berikut ini :

1. Nukleus Retikularis medulla, pons dan mesensefalon.

2. Area tektal dari mesensefalon dalam sampai kolikuli superior dan inferior.

3. Daerah substantia abu-abu periaquaductal yang mengelilingi aqueductus sylvius.

Daerah yang lebih rendah dari batang otak ini tampaknya penting dalam mengapresiasikan rasa sakit dari nyeri. Dari area nyeri batang otak, banyak neuron-neuron serabut pendek yang memancarkan sinyal nyeri naik ke intra laminar dan nucleus lateral pusat dari thalamus dan kedalam bagian tertentu hipotalamus dan daerah lain yang berdekatan didasar otak.

Derajat reaksi seseorang terhadap rasa nyeri (pain suppression) sangat bervariasi. Keadaan ini disebabkan oleh kemampuan otak dalam menekan / menahan besarnya sinyal nyeri yang masuk ke dalam system saraf, yaitu dengan mengaktifkan system pengatur rasa nyeri atau system analgesia. Sistem analgesia terdiri dari 3 komponen:

1. Periaqaeductal grisea dan periventrikuler : dari mesensefalon dan bagian atas pons yang mengelilingi aquaductus sylvius dan bagian yang berdekatan dengan ventrikel 3 dan 4 signal dari neuron-neuron dikirim ke
2. Nukleus rafe magnus (di bagian bawah pons dan bagian atas medula) dan nucleus reticularis paragigantoselularis. diteruskan turun ke
3. Kompleks penghambat rasa nyeri di kornu dorsalis medula spinalis

Rangsang elektrik: dibawa ke periaqaeduct dan nukleus rafe magnus dapat menekan signal sakit (kuat) pada waktu masuk ke dorsal spinal roots. Periaqaeduct, periventrikuler menekan sakit tidak terlalu kuat. Kemudian neurotransmitter yang terlibat dalam system analgesia menekan rasa sakit yaitu : Enkefalin dan Serotonin.

Nuklei periventrikuler dan periaqaeduct mensekresikan enkefalin, juga rafe magnus mensekresikan enkefalin. Serabut-serabut yang berasal dari nuklei ini dan berakhir di kornu dorsalis medula spinalis mensekresikan serotonin pada ujung-ujungnya. Serotonin secara setempat merangsang sekresi enkefalin. Pada serabut-serabut sakit tipe A dan C sinapsnya di kornu dorsalis dengan cara presinaps inhibisi dan memblok kanal ion Ca, maka ion Ca melepas transmiter di sinaps dan memblok presinaps inhibisi. Sistem ini bekerja dalam hitungan menit sampai jam. Selain itu sistem analgesia dapat menghambat transmisi sakit di perjalanan di nuklei retikuler, batang otak, dan thalamus.

Menurut kualitasnya, nyeri dibedakan menjadi 2 yaitu:

1. Nyeri cepat (nyeri akut, tajam, tertusuk), sinyal nyeri ini dijalarkan melalui saraf perifer menuju ke medula spinalis oleh saraf tipe A delta pada kecepatan penjalaran antara 6-30 m/dtk.

2. Nyeri lambat (nyeri kronik, terbakar, pegal), Sinyal nyeri ini dijalarkan serabut saraf tipe C dengan kecepatan penjalaran antara 0,5-2m/dtk (Guyton, 2000)

Menurut tempat terjadinya, nyeri dibagi atas nyeri somatik dan visceral. Nyeri somatik dibagi menjadi nyeri permukaan dan nyeri dalam. Nyeri permukaan adalah nyeri yang dirasakan dalam kulit, tulang dan jaringan ikat. Nyeri visceral terjadi antara lain karena ketegangan organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang atau penyakit yang menyebabkan radang (Mutchler, 1991).

Daftar Pustaka

1. Tjay, T. H., Rahardja, K. (2002). Obat-obat Penting Khasiat dan Penggunannya (edisi 5). Jakarta : PT. Elex Media Computindo, 297-303.

2. Sujatno, H. R. M. (1998, 3 Maret). Tinjauan farmakologik obat analgesik narkotik nin narkotik dan analgesik narkotik serta kombinasinya untuk rasa nyeri. Majalah Kedokteran Indonesia., vol: 48, nomor:3, 135-139.

3. Mutchler, E. (1991). Dinamika Obat: Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi. Penerjemah: Widianto, M dan A. S Kanti. Bandung: ITB, 177-180, 195.

4. Guyton, A. C. (2000). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC, 520-523.

5. Ganong, W. F. (2003). Fisiologi Kedokteran (edisi 10). Jakarta: EGC, 340-342.

6. Kasper, D. L. (2005). Harrison’s Principles of Internal Medicine (16 ed.). London: Mc Graw Hill Medical Publishing Division, 71-76.

7. Dorland, W. A. Newman. (2005). Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.

8. Wilmana, P. F. (1995). Analgesik, Antipiretik, Antiinflamasi dan Antipirai dalam Ganiswara, S. G., Setiabudi, R., Suyatna, F. D., Purwantyastuti., Nafrialdi: Farmakologi dan Terapi (edisi 3). Jakarta: Bagian Farmakologi Kedokteran Universitas Indonesia, 208-222.






0 komentar:

Posting Komentar