Minggu, 31 Januari 2010

ASKEP PARKINSON,, WNES

WD.NURHAENY EMBA SAPUTRI
MAHASISWA PRODY SI KEPERAWATAN
STIKES MANDALA WALUYA KENDARI

Askep Parkinson
( Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Penyakit Parkinson )

Pengertian
Penyakit Parkinson adalah penyakit saraf progresif yang berdampak terhadap respon
Askep Parkinson

Askep Parkinson
mesenfalon dan pergerakan regulasi.

Etiologi
Penyakit Parkinson sering dihubungkan dengan kelainan neurotransmitter di otak dan faktor-faktor lainnya seperti :

1. Defisiensi dopamine dalam substansia nigra di otak memberikan respon gejala penyakit Parkinson,
2. Etiologi yang mendasarinya mungkin berhubungan dengan virus, genetik, toksisitas, atau penyebab lain yang tidak diketahui.
Gejala Klinis

Penyakit Parkinson memiliki gejala klinis sebagai berikut:

1. Bradikinesia (pergerakan lambat), hilang secara spontan,
2. Tremor yang menetap ,
3. Tindakan dan pergerakan yang tidak terkontrol,
4. Gangguan saraf otonom (sulit tidur, berkeringat, hipotensi ortostatik,
5. Depresi, demensia,
6. Wajah seperti topeng.

Pemeriksaan Diagnostik

Observasi gejala klinis dilakukan dengan mempelajari hasil foto untuk mengetahui gangguan.

Komplikasi

Komplikasi terbanyak dan tersering dari penyakit Parkinson yaitu demensia, aspirasi, dan trauma karena jatuh.

Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan medis dapat dilakukan dengan medikamentosa seperti:

1. Antikolinergik untuk mengurangi transmisi kolinergik yang berlebihan ketika kekurangan dopamin.
2. Levodopa, merupakan prekursor dopamine, dikombinasi dengan karbidopa, inhibitor dekarboksilat, untuk membantu pengurangan L-dopa di dalam darah dan memperbaiki otak.
3. Bromokiptin, agonis dopamine yang mengaktifkan respons dopamine di dalam otak.
4. Amantidin yang dapat meningkatkan pecahan dopamine di dalam otak.
5. Menggunakan monoamine oksidase inhibitor seperti deprenil untuk menunda serangan ketidakmampuan dan kebutuhan terapi levodopa.

Penatalaksanaan Keperawatan

Pengkajian

1. Kaji saraf kranial, fungsi serebral (koordinasi) dan fungsi motorik.
2. Observasi gaya berjalan dan saat melakukan aktivitas.
3. Kaji riwayat gejala dan efeknya terhadap fungsi tubuh.
4. Kaji kejelasan dan kecepatan bicara.
5. Kaji tanda depresi.

Diagnosis dan Intervensi Keperawatan

1. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan bradikinesia, regiditas otot dan tremor ditandai dengan DS: klien mengatakan sulit melakukan kegiatan, DO: tremor saat beraktivitas.

Intervensi:

Tujuan : meningkatkan mobilitas.

· Bantu klien melakukan olah raga setiap hari seperti berjalan, bersepeda, berenang, atau berkebun.

· Anjurkan klien untuk merentangkan dan olah raga postural sesuai petunjuk terapis.

· Mandikan klien dengan air hangat dan lakukan pengurutan untuk membantu relaksasi otot.

· Instruksikan klien untuk istirahat secara teratur agar menghindari kelemahan dan frustasi.

· Ajarkan untuk melakukan olah raga postural dan teknik berjalan untuk mengurangi kekakuan saat berjalan dan kemungkinan belajar terus.

· Instruksikan klien berjalan dengan posisi kaki terbuka.

· Buat klien mengangkat tangan dengan kesadaran, mengangkat kaki saat berjalan, menggunakan sepatu untuk berjalan, dan berjalan dengan langkah memanjang.

· Beritahu klien berjalan mengikuti irama musik untuk membantu memperbaiki sensorik.

Evaluasi : klien mengikuti sesi terapi fisik, melakukan latihan wajah 10 menit 2 kali sehari.

2. Gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan kesulitan: menggerakkan makanan, mengunyah, dan menelan, ditandai dengan DS: klien mengatakan sulit makan, berat badan berkurang DO: kurus, berat badan kurang dari 20% berat badan ideal, konjungtiva pucat, dan membran mukosa pucat.

Intervensi:

Tujuan : mengoptimalkan status nutrisi.

· Ajarkan klien untuk berpikir saat menelan-menutup bibir dan gigi bersama-sama, mengangkat lidah dengan makanan di atasnya, kemudian menggerakkan lidah ke belakang dan menelan sambil mengangkat kepala ke belakang.

· Instruksikan klien untuk mengunyah dan menelan, menggunakan kedua dinding mulut.

· Beritahu klien untuk mengontrol akumulasi saliva secara sadar dengan memegang kepala dan menelan secara periodik.

· Berikan rasa aman pada klien, makan dengan stabil dan menggunakan peralatan.

· Anjurkan makan dalam porsi kecil dan tambahkan makanan selingan (snack).

· Monitor berat badan.

Evaluasi : klien dapat makan 3 kali dalam porsi kecil dan dua kali snack, tidak ada penurunan berat badan.

3. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan penurunan kemampuan bicara dan kekakuan otot wajah ditandai dengan : DS: klien/keluarga mengatakan adanya kesulitan dalam berbicara DO: kata-kata sulit dipahami, pelo, wajah kaku.

Intervensi:

Tujuan: memaksimalkan kemampuan berkomunikasi.

· Jaga komplikasi pengobatan.

· Rujuk ke terapi wicara.

· Ajarkan klien latihan wajah dan menggunakan metoda bernafas untuk memperbaiki kata-kata, volume, dan intonasi.

o Nafas dalam sebelum berbicara untuk meningkatkan volume suara dan jumlah kata dalam kalimat setiap bernafas.

o Latih berbicara dalam kalimat pendek, membaca keras di depan kaca atau ke dalam perekam suara (tape recorder) untuk memonitor kemajuan.

Evaluasi : tidak adanya kesulitan dalam berbicara, kata-kata dapat dipahami.


ASKEP DERMATITIS,, WNES

WD.NURHAENY EMBA SAPUTRI
PRODY SI KEPERAWATAN
STIKES MANDALA WALUYA KENDARI

DERMATITIS

Pengertian:
dermatitis adalah peradangan pada kulit.

Terbagi Atas :
DERMATITIS KONTAK
Sinonim :
Dermatitis venenata, dermatitis industri, dan lain-lain.
Penyebab :
a. Zat iritan misalnya asam atau alkali.
b. Alergen misalnya tumbuh-tumbuhan, kosmetik atau nikel.
Perjalanan Penyakit Dan Gejala Klinis : Terdapat 2 tipe dermatitis kontak yang disebabkan oleh zat yang berkontak dengan kulit yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik.
Dermaitis Kontak Iritan :
Kulit berkontak dengan zat iritan dalam waktu dan konsentrasi cukup, umumnya berbatas relatif tegas.
Paparan ulang akan menyebabkan proses menjadi kronik dan kulit menebal disebut skin hardering.
Gejala klinis dipengaruhi keadaan kulit pada waktu kontak antara lain, faktor kelembaban, paparan dengan air, panas dingin, tekanan atau gesekan. Kulit kering lebih kurang bereaksi.
Dermatitis Kontak Alergik :
Batas tak tegas. Proses yang mendasarinya ialah reaksi hipersensitivitas. Lokalisasi daerah terpapar, tapi tidak tertutup kemungkinan di daerah lain.


Diagnosis banding :
Dermatitis numularis, dermatitis seboroika, dermatitis atopik.
Pengobatan :
 Menghindari penyebab.
 Simtomatik
 Topikal :
o Apabila basah : kompres PK 1/10.000
o Apabila kering : Kortikosteroid
 Pada keadaan berat – per oral :
o Antihistamin
o Kortikosteroid


DERMATITIS ATOPIK
Sinonim :
Neurodermatitis disseminata; prurigo diathesique Besnier.
Penyebab :
a. Gangguan fungsi sel limfosit T dan peningkatan kadar Ig E
b. Blokade reseptor beta adrenergik pada kulit.
Perjalanan Penyakit Dan Gejala Klinis :
Bersifat kronis dengan eksaserbasi akut, dapat terjadi infeksi sekunder. Riwayat stigmata atopik pada penderita atau keluarganya. Gejala klinis edema, vesikel sampai bula, dapat pula disertai ekskoriasi. Keadaan kronik terdapat penebalan kulit, likenifikasi dan hyperpigmentasi. Gatal dari ringan sampai berat, disertai rasa terbakar. Keadaan akut disertai rasa tidak enak badan
Lokalisasi sesuai umur penderita dibagi:
 Tipe infantil : muka, terutama kedua pipi (disebut milk eczema), kepala, ekstremitas, badan dan bokong. Biasanya usia 2 bulan – 2 tahun.
 Tipe anak-anak : muka, tengkuk, lipat siku dan pergelangan tangan. Lesi bersifat sub-akut.
 Tipe dewasa : fosa poplitea, lipat siku dan tengkuk, dahi, daerah yang terpapar matahari. Lesi bersifat kronis.
Diagnosis Banding :
Dermatitis seboroika, dermatitis herpetiformis dan keratosis folikularis (penyakit Darier)

Pengobatan :
 Keadaan ringan diberikan pengobatan topikal.
 Sistemik : Antihistamin. Keadaan sangat eksudativ, diberikan kortikosteroid jangka pendek.
 Topikal : Keadaan akut dan basah diberi kompres. Kronik  salep kortikosteroid. Keadaan infeksi dikombinasi dengan antibiotika. Bila diduga mengalami infeksi dengan kandidosis dapat diberikan campuran kortikosteroid dan anti kandida.
Tanda Diagnostik :
o Lokalisasi – daerah lipatan flexor ekstremitas.
o Terdapat stigmata atopik
o Gatal


DERMATITIS NUMULARIS
Sinonim :
Dermatitis Diskoid, Neurodermatitis Numularis.
Penyebab :
Tidak pasti. Diduga stress emosi, alkohol dapat memperburuk keadaan.
Perjalanan Penyakit Dan Gejala Klinis :
Kelainan terdiri dari eritema, edema, papel, vesikel, bentuk numuler, dengan diameter bervariasi 5 – 40 mm. Bersifat membasah (oozing), batas relatif jelas, bila kering membentuk krusta. Gejala biasanya hebat dan hilang timbul, bila digaruk dapat terjadi fenomena Koebner.
Lokalisasi di ekstremitas atas dan bawah bagian ekstensor, tetapi dapat berlokasi diseluruh bagian tubuh.
Diagnosis Banding :
Dermatitis atopik, neurodermatitis.
Pengobatan :
Topikal tidak mencukupi, perlu pengobatan sistemik berupa anti histamin.
 Lesi basah kompres larutan Permanganas Kalikus 1 : 10.000
 Lesi kering : salep kortikosteroid.
Bila ada infeksi sekunder ditambahkan antibiotika sistemik.
Tanda Diagnostik :
 Bentuk lesi numuler
 Sifat lesi membasah
 Gatal


NEURODERMITIS SIRKUMSKRIPTA
Sinonim :
Liken Simpleks Kronis
Penyebab :
Tidak pasti.
Perjalanan Penyakit Dan Gejala Klinis :
Penderita umumnya orang dewasa atau orang tua. Mungkin suatu tempat gatal kemudian digaruk berulang-ulang, maka akan timbul papel, likenifikasi dan kulit menjadi tebal yang menimbulkan hyperpigmentasi. Lesi berupa papel besar, gatal disebut prurigo nodularis.
Tempat di tengkuk, di punggung kaki, punggung tangan, lengan bawah dekat siku, tungkai bawah bagian lateral, perianal, scrotum dan vulva atau di scalp. Prurigo nodularis sering ditemukan di lengan dan tungkai. Kelainan menipis bila tidak digaruk.
Pengobatan :
Diberitahukan kepada penderita : kelainan kulit menipis dan kemudian menghilang bila tidak digaruk.
õ Sistemik : Sedativa atau Antihistaminika untuk mengurangi rasa gatal.
õ Topikal : Salep Kortikosteroid.
Bila kurang berhasil dibantu dengan cara oklusi (ditutup dengan bahan impermeabel misalnya bungkus plastik). Kalau belum berhasil juga disuntik dengan kortikosteroid intra lesi, misalnya triamsinolon.

Prognosis :
Baik, tetapi sering pula residif.

DERMATITIS STATIS
Sinonim :
Dermatitis Hemostatika.
Penyebab :
Gangguan aliran darah pembuluh vena di tungkai. Berupa bendungan di luar pembuluh darah; misalnya tumor di abdomen sumbatan thrombus di tungkai bawah, atau kerusakan katup vena setelah thrombophlebitis.
Insidens :
Orang dewasa dan orang tua.
Perjalanan Penyakit Dan Gejala Klinis :
Akibat bendungan, tekanan vena makin meningkat sehingga memanjang dan melebar. Terlihat berkelok-kelok seperti cacing (varises). Cairan intravaskuler masuk ke jaringan dan terjadilah edema. Timbul keluhan rasa berat bila lama berdiri dan rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk. Terjadi ekstravasasi eritrosit dan timbul purpura. Bercak-bercak semula tampak merah berubah menjadi hemosiderin. Akibat garukan menimbulkan erosi, skuama. Bila berlangsung lama, edema diganti jaringan ikat sehingga kulit teraba kaku, warna kulit lebih hitam.
Komplikasi :
Timbul ulkus, disebut ulkus varikosum atau ulkus venosum.
Diagnosis :
Lokalisasi ditungkai bawah, dimulai di atas maleous internus sampai di bawah lutut. Kelainan berupa hyperpigmentasi, skuama, erosi, papel, kadang-kadang eksudasi. Batas tidak jelas. Udema terutama di pergelangan kaki.
Diagnosis Banding :
Dermatitis kontak.
Pengobatan :
õ Dermatitis akut dikompres dengan larutan Permanganas Kalikus 1/10.000, atau larutan perak nitrat 0,25 % - 0,5 %.
õ Obat topikal : Ichtyol 2 % dalam salep zink-oksid.
õ Bila eksudatif , diberi kortikosteroid dalam jangka pendek (7-10 hari).
õ Bila ada infeksi sekunder diberi antibiotika.
Prognosis :
Residif..

DERMATITIS SEBOROIKA
Sinonim :
Seborrheic Eczema, Dermatitis Seborrhoides, Seborrhoide.
Penyebab :
Tidak diketahui.
Faktor yang mempengaruhi / memperburuk :
 Jenis makanan berlemak
 Banyaknya keringat
 Stress emosi
Insidens :
Daerah dingin insidennya lebih tinggi. Umumnya bayi dan anak umur 6 – 10 tahun, serta orang dewasa umur 18 – 40 tahun.
Perjalanan Penyakit Dan Gejala Klinis :
Merupakan penyakit kronik, residif, dan gatal. Kelainan berupa skuama kering, basah atau kasar; krusta kekuningan dengan bentuk dan besar bervariasi.
Tempat kulit kepala, alis, daerah nasolabial belakang telinga, lipatan mammae, presternal, ketiak, umbilikus, lipat bokong, lipat paha dan skrotum.
Pada kulit kepala terdapat skuama kering dikenal sebagai dandruff dan bila basah disebut pytiriasis steatoides ; disertai kerontokan rambut.

Lesi dapat menjalar ke dahi, belakang telinga, tengkuk, serta oozing (membasah), dan menjadi keadaan eksfoliatif generalisata. Pada bayi dapat terjadi eritroderma deskuamativa atau disebut penyakit Leiner.
Diagnosis Banding :
Psoriasis, Pitiriasis Rosea, Dermatofitosis.
Pengobatan :
 Umum : diet rendah lemak.
 Sistemik : antihistamin, pada kasus berat, kortikosteroid.
 Lokal : preparat sulfur, tar, kortikosteroid. Shampo dapat dipakai selenium sulfida.
Prognosis :
Kronik residif.








ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN DERMATITIS

I. PENGKAJIAN.
a. Identitas Pasien.
b. Keluhan Utama.
Biasanya pasien mengeluh gatal, rambut rontok.
c. Riwayat Kesehatan.
1. Riwayat Penyakit Sekarang :
Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada pada keluhan utama dan tindakan apa saja yang dilakukan pasien untuk menanggulanginya.
2. Riwayat Penyakit Dahulu :
Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit kulit lainnya.
3. Riwayat Penyakit Keluarga :
Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit kulit lainnya.
4. Riwayat Psikososial :
Apakah pasien merasakan kecemasan yang berlebihan. Apakah sedang mengalami stress yang berkepanjangan.
5. Riwayat Pemakaian Obat :
Apakah pasien pernah menggunakan obat-obatan yang dipakai pada kulit, atau pernahkah pasien tidak tahan (alergi) terhadap sesuatu obat.

II. PEMERIKSAAN FISIK.
a. Subjektif :
Gatal
b. Objektif :
 Skuama kering, basah atau kasar.
 Krusta kekuningan dengan bentuk dan besar bervariasi.
( Yang sering ditemui pada kulit kepala, alis, daerah nasolabial belakang telinga, lipatan mammae, presternal, ketiak, umbilikus, lipat bokong, lipat paha dan skrotum ).
 Kerontokan rambut.

III. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI.
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan Inflamasi dermatitis, ditandai dengan :
 Adanya skuama kering, basah atau kasar.
 Adanya krusta kekuningan dengan bentuk dan besar bervariasi.
Intervensi :
 Kaji / catat ukuran dari krusta, bentuk dan warnanya, perhatikan apakah skuama kering, basah atau kasar.
 Anjurkan klien untuk tidak menggaruk daerah yang terasa gatal.
 Kolaborasi dalam pemberian pengobatan :
 Sistemik : Antihistamin, Kortikosteroid.
 Lokal : Preparat Sulfur, Tar, Kortikosteroid, Shampo (Selenium Sulfida)

2. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis aktual atau yang dirasa sekunder akibat penyakit, ditandai dengan :
(Kemungkinan yang terjadi)
 Insomnia
 Keletihan dan kelemahan
 Gelisah
 Anoreksia
 Ketakutan
 Kurang percaya diri
 Merasa dikucilkan
 Menangis.
Intervensi :
 Kaji tingkat ansietas: ringan, sedang, berat, panik.
 Berikan kenyamanan dan ketentraman hati :
 Tinggal bersama pasien.
 Tekankan bahwa semua orang merasakan cemas dari waktu ke waktu.
 Bicara dengan perlahan dan tenang, gunakan kalimat pendek dan sederhana.
 Perlihatkan rasa empati.
 Singkirkan stimulasi yang berlebihan (ruangan lebih tenang), batasi kontak dengan orang lain – klien atau keluaraga yang juga mengalami cemas.
 Anjurkan intervensi yang menurunkan ansietas (misal : teknik relaksasi, imajinasi terbimbing, terapi aroma).
 Identifikasi mekanisme koping yang pernah digunakan untuk mengatasi stress yang lalu.

3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dalam penampilan sekunder akibat penyakit, ditandai dengan :
 Klien mungkin merasa malu.
 Tidak melihat / menyentuh bagian tubuh yang terganggu.
 Menyembunyikan bagian tubuh secara berlebihan.
 Perubahan dalam keterlibatan sosial.
Intervensi :
 Dorong klien untuk mengekspresikan perasaannya.
 Dorong klien untuk bertanya mengenai masalah, penanganan, perkembangan dan prognosa penyakit.
 Berikan informasi yang dapat dipercaya dan perkuat informasi yang telah diberikan.
 Perjelas berbagai kesalahan konsep individu / klien terhadap penyakit, perawatan dan pengobatan.
 Dorong kunjungan / kontak keluarga, teman sebaya dan orang terdekat.

4. Kurang pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurangnya sumber informasi, ditandai dengan :
 Pasien sering bertanya / minta informasi, pernyataan salah konsep.
Intervensi :
 Jelaskan konsep dasar penyakitnya secara umum.
 Jelaskan / ajarkan nama obat-obatan, dosis, waktu dan metode pemberian, tujuan, efek samping dan toksik.
 Anjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang rendah lemak.
 Tekankan pentingnya personal hygiene.


DAFTAR PUSTAKA


1. Sularsito, Dr. Sri Adi, Et all. 1986. Dermatologi Praktis. Edisi I. Penerbit: Perkumpulan Ahli Dermato-Venereologi Indonesia, Jakarta.

2. Doenges, Marilynn E, et all. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Penerbit: EGC, Jakarta.

3. Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Penerbit: EGC, Jakarta.


ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN PSORIASIS,,WNES


Wd,nurhaeny emba saputri
Mahasiswa Prodi S1 Keperawatan
STIK MANDALA WALUYA KENDARI


1. Definisi
Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan; disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner. Psoriasis juga disebut psoriasis vulgaris berarti psoriasis yang biasa, karena ada psoriasis lain, misalnya psoriasis pustulosa. 2. Anatomi fisiologis
Pembagian kulit secara garis besar :
a. Epidermis
Lapisan kulit terluar. Sel-sel epidermis terus menerus mengalami mitosis dan diganti dengan yang baru sekitar 30 hari. Epidermis mengandung reseptor-resepror sensorik untuk sentuhan, suhu, getaran dan nyeri. Lapisan epidermis terdiri dari: stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basale.
b. Dermis
Dermis terletak tepat di bawah epidermis. Jaringan ini dianggap jaringan ikat longgar dan terdiri dari sel-sel fibroblas yang mengeluarkan protein kolagen dan elastin. Lapisan dermis terdiri dari pars papelare dan pars retikulare.
c. Lapisan Subkutis
Lapisan subkutis di bawah dermis. Lapisan ini terdiri dari lemak dan jaringan ikat dan berfungsi sebagai peredam kejut dan insulamtor panas. Lapisan subkutis adalah tempat penyimpanan kalori

Faal kulit:
a. Fungsi proteksi
b. Fungsi absorpsi
c. Fungsi ekskresi
d. Fungsi persepsi
e. Fungsi pengaturan suhu tubuh
f. Fungsi pembentukan pigmen
g. Fungsi keratinisasi
h. Fungsi pembentukan vit. D

3. Etiologi
Etiologi belum diketahui, yang jelas ialah waktu pulih (turn over time) epidermis dipercepat menjadi 3-4 hari, sedangkan pada kulit normal lamanya 27 hari.Berbagai penyelidikan yang lebih mendalam untuk mengetahui penyebabnya yang pasti masih banyak dilakukan. Beberapa faktor penting yang disangka menjadi penyebab timbulnya Psoriasis adalah :
a. Genetik
b. Imunologik
c. Stres Psikik
d. Infeksi fokal. Umumnya infeksi disebabkan oleh Kuman Streptococcus
e. Faktor Endokrin. Puncak insidens pada waktu pubertas dan menopause, pada waktu kehamilan membaik tapi menjadi lebih buruk pada masa pascapartus.
f. Gangguan Metabolik, contohnya hipokalsemia dan dialisis.
g. Obat-obatan misalnya beta-adrenergic blocking agents, litium, antimalaria, dan penghentian mendadak korikosteroid sistemik.
h. Alkohol dan merokok.

4. Patofisiologi
Psoriasis merupakan penyakit kronik yang dapat terjadi pada setiap usia. Perjalanan alamiah penyakit ini sangat berfluktuasi. Pada psoriasis ditunjukan adanya penebalan epidermis dan stratum korneum dan pelebaran pembuluh-pembuluh darah dermis bagian atas. Jumlah sel-sel basal yang bermitosis jelas meningkat. Sel-sel yang membelah dengan cepat itu bergerak dengan cepat ke bagian permukaan epidermis yang menebal. Proliferasi dan migrasi sel-sel epidermis yang cepat ini menyebabkan epidermis menjadi tebal dan diliputi keratin yang tebal ( sisik yang berwarna seperti perak ). Peningkatan kecepatan mitosis sel-sel epidermis ini agaknya antara lain disebabkan oleh kadar nukleotida siklik yang abnormal , terutama adenosin monofosfat(AMP)siklik dan guanosin monofosfat (GMP) siklik. Prostaglandin dan poliamin juga abnormal pada penyakit ini. Peranan setiap kelainan tersebut dalam mempengaruhi plak psoriatik belum dapat dimengerti secara jelas.

5. Gejala Klinis
Penderita biasanya mengeluh adanya gatal ringan pada tempat-tempat predileksi, yakni pada kulit kepala, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku serta lutut, dan daerah lumbosakral.
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema berbatas tegas dan merata. Skuama berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih seperti mika, serta transparan.
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner. Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada goresan, seperti lilin digores. Pada fenomena Auspitz serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan karena papilomatosis. Trauma pada kulit , misalnya garukan , dapat menyebabkan kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis dan disebut kobner.
Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku yang agak khas yang disebut pitting nail atau nail pit berupa lekukan-lekukan miliar.

Bentuk Klinis :
1. Psoriasis Vulgaris
2. Psoriasis Gutata
3. Psoriasis Inversa ( Psoriasis Fleksural)
4. Psoriasis Eksudativa
5. Psoriasis Seboroik (Seboriasis)
6. Psoriasis Pustulosa ( Pustulosa Palmoplantar & Pustulosa Generalisata Akut)
7. Eritroderma Psoriatik

6. Diagnosis
Jika gambaran klinisnya khas, tidaklah sukar membuat diagnosis. Kalau tidak khas, maka harus dibedakan dengan beberapa penyakit lain yang tergolong dermatitis eritroskuamosa. Pada diagnosis banding hendaknya perlu diingat , bahwa pada psoriasis terdapat tanda-tanda yang khas, yakni skuama kasar, transparan serta berlapis-lapis , fenomena tetesan lilin,dan fenomena auspitz serta kobner.
Diagnostik banding :
a. Dermatofitosis dengan keluhan gatal sekali dan ditemukan ada jamur.
b. Sifilis Psoriasiformis (sifilis stadium II)
c. Dermatitis seboroik.

7. Penatalaksanaan Medik
Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan yang spesifik karena penyebabnya belum jelas dan banyak faktor yang berpengaruh. Psoriasis sebaiknya diobati secara topikal. Jika hasilnya tidak memuaskan, baru dipertimbangkan pengobatan sistemik karena efek samping pengobatan sistemik lebih banyak.
Pengobatan Sistemik
1. Kortikosteroid ( Prednison )
2. Obat sitostatik ( Metroteksat )
3. Levodopa
4. DDS(diaminodifenilsulfon)
5. Etretinat dan Asitretein
6. Siklosporin

Pengobatan Topikal
1. Preparat Ter ( fosil, kayu, batubara )
2. Kortikosteroid ( senyawa fluor )
3. Ditranol ( antralin )
4. Pengobatan dengan peyinaran
5. Calcipotrio

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian 11 Pola Gordon:
a. Pola Persepsi Kesehatan
- Adanya riwayat infeksi sebelumya.
- Pengobatan sebelumnya tidak berhasil.
- Riwayat mengonsumsi obat-obatan tertentu, mis., vitamin; jamu.
- Adakah konsultasi rutin ke Dokter.
- Hygiene personal yang kurang.
- Lingkungan yang kurang sehat, tinggal berdesak-desakan.
b. Pola Nutrisi Metabolik
- Pola makan sehari-hari: jumlah makanan, waktu makan, berapa kali sehari makan.
- Kebiasaan mengonsumsi makanan tertentu: berminyak, pedas.
- Jenis makanan yang disukai.
- Napsu makan menurun.
- Muntah-muntah.
- Penurunan berat badan.
- Turgor kulit buruk, kering, bersisik, pecah-pecah, benjolan.
- Perubahan warna kulit, terdapat bercak-bercak, gatal-gatal, rasa terbakar atau perih.
c. Pola Eliminasi
- Sering berkeringat.
- Tanyakan pola berkemih dan bowel.
d. Pola Aktivitas dan Latihan
- Pemenuhan sehari-hari terganggu.
- Kelemahan umum, malaise.
- Toleransi terhadap aktivitas rendah.
- Mudah berkeringat saat melakukan aktivitas ringan.
- Perubahan pola napas saat melakukan aktivitas.

e. Pola Tidur dan Istirahat
- Kesulitan tidur pada malam hari karena stres.
- Mimpi buruk.
f. Pola Persepsi Kognitif
- Perubahan dalam konsentrasi dan daya ingat.
- Pengetahuan akan penyakitnya.
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
- Perasaan tidak percaya diri atau minder.
- Perasaan terisolasi.
h. Pola Hubungan dengan Sesama
- Hidup sendiri atau berkeluarga
- Frekuensi interaksi berkurang
- Perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran
i. Pola Reproduksi Seksualitas
- Gangguan pemenuhan kebutuhan biologis dengan pasangan.
- Penggunaan obat KB mempengaruhi hormon.
j. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stress
- Emosi tidak stabil
- Ansietas, takut akan penyakitnya
- Disorientasi, gelisah
k. Pola Sistem Kepercayaan
- Perubahan dalam diri klien dalam melakukan ibadah
- Agama yang dianut

2. Diagnosa dan Rencana Keperawatan

DP1 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi antara dermal-epidermal sekunder akibat psoriasis
Tujuan : Kerusakan integritas kulit dapat teratasi dalam 3 x 24 jam.

Kriteria Hasil :
1. Area terbebas dari infeksi lanjut.
2. Kulit bersih, kering, dan lembab

Intervensi :
1. Kaji keadaan kulit
R/ : Mengetahui dan mengidetifikasi kerusakan kulit untuk melakukan intervensi yang tepat.
2. Kaji keadaan umum dan observasi TTV.
R/ : Mengetahui perubahan status kesehatan pasien.
3. Kaji perubahan warna kulit.
R/ : Megetahui keefektifan sirkulasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
4. Pertahankan agar daerah yang terinfeksi tetap bersih dan kering.
R/ : Membantu mempercepat proses penyembuhan.
5. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat-obatan.
R/ : Untuk mempercepat penyembuhan.

DP2 Ketakutan berhubungan dengan perubahan penampilan
Tujuan : Ketakutan teratasi setelah 3 x 24 jam.

Kriteria Hasil :
1. Klien menyatakan peningkatan kenyamanan psikologis dan fisiologis.
2. Dapat menjelaskan pola koping yang efektif dan tidak efektif.
3. Mengidentifikasi respons kopingnya sendiri.

Intervensi :
1. Kaji ulang perubahan biologis dan fisiologis.
R/ : Reaksi fisik kronis terhadap stresor-stresor menunjukkan adanya penyakit kronis dan ketahanan rendah.
2. Gunakan sentuhan sebagai toleransi.
R/ : Kadang-kadang dengan memegang secara hangat akan menolongnya mempertahankan kontrol.
3. Dukung jenis koping yang disukai ketika mekanisme adaftif digunakan.
R/ : Marah merupakan respon yang adaptif yang menyertai rasa takut.
4. Anjurkan untuk mengekspresikan perasaannya.
R/ : Dapat mengurangi stres pada pasien.
5. Anjurkan untuk menggunakan mekanisme koping yang normal.
R/ : Ketepatan dalam menggunakan koping merupakan salah satu cara mengurangi ketakutan.
6. Anjurkan klien untuk mencari stresor dan menghadapi rasa takutnya.
R/ : Kesadaran akan faktor penyebabkan ketakutan akan memperkuat kontrol dan mencegah perasaan takut yang makin memuncak.

DP3 : Ansietas yang berhubungan dengan perubahan status kesehatan sekunder akibat penyakit psoriasis
Tujuan : Ansietas dapat diminimalkan sampai dengan diatasi setelah 3 x 24 jam

Kriteria Hasil :
1. Pasien tampak rileks
2. Pasien mendemonstrasikan/menunjukan kemampuan mengatasi masalah dan menggunakan sumber-sumber secara efektif
3. Tanda-tanda vital normal
4. Pasien melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi

Intervensi :
1. Kaji tingkat ansietas dan diskusikan penyebab bila mungkin
R/ : Identifikasi masalah spesifik akan meningkatkan kemampuan individu untuk menghadapinya dengan lebih realistis
2. Kaji ulang keadaan umum pasien dan TTV
R/ : Sebagai indikator awal dalam menentukan intervensi berikutnya
3. Berikan waktu pasien untuk mengungkapkan masalahnya dan dorongan ekspresi yang bebas, misalnya rasa marah, takut, ragu
R/ : Agar pasien merasa diterima
4. Jelaskan semua prosedur dan pengobatan
R/ : Ketidaktahuan dan kurangnya pemahaman dapat menyebabkan timbulnya ansietas
5. Diskusikan perilaku koping alternatif dan tehnik pemecahan masalah
R/ : Mengurangi kecemasan pasien

DP4 Gangguan konsep diri berhubungan dengan krisis kepercayaan diri

Tujuan : Gangguan konsep diri teratasi dalam 3 x 24 jam
Kriteria Hasil :
1. Dapat berinteraksi seperti biasa.
2. Rasa percaya diri timbul kembali.

Intervensi :
1. Kaji perubahan perilaku pasien seperti menutup diri, malu berhadapan dengan orang lain.
R/ : Mengetahui tingkat ketidakpercayaan diri pasien dalam menentukan intervensi selanjutnya.
2. Bersikap realistis dan positif selama pengobatan, pada penyuluhan pasien.
R/ : Meningkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan antara perawat-pasien.
3. Beri harapan dalam parameter situasi individu.
R/ : Meningkatkan perilaku positif
4. Berikan penguatan positif terhadap kemajuan.
R/ : Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif.
5. Dorong interaksi keluarga.
R/ : Mempertahankan garis komunikasi dan memberikan dukungan terus-menerus pada pasien.

DP5 Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.

Tujuan : Pengetahuan pasien bertambah
Kriteria Hasil :
1. Pasien menunjukkan pemahaman akan penyakitnya.
2. Pasien menunjukkan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.

Intervensi :
1. Kaji ulang pengobatan.
R/ : Pengulangan memungkinkan kesempatan untuk bertanya dan meyakinkan pemahaman yang akurat.
2. Ajar tanda dan gejala serta kemungkinan yang dapat menimbulkan inflamasi.
R/ : Agar pasien memahami dan mencegah faktor resiko inflamasi serta dapat mengantisipasi secara dini kelanjutan keadaan tersebut.
3. Diskusikan jadwal pengobatan.
R/ : Agar pasien dapat menentukan waktu yang tepat untuk terapi sehingga memahami fungsi terapi yang diikuti.
4. Diskusikan tentang peningkatan jadwal kunjungan ke Dokter.
R/ : Agar pasien lebih mengerti akan kondisinya

Daftar Pustaka

Ajunadi, Purnawan dkk. 1982. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius: Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan. EGC: Jakarta.

Djuanda, Adhi. 1993. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran UI: Jakarta.

Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta.


KONSEP DASAR KESEHATAN JIWA ,, WNES


KONSEP DASAR KESEHATAN JIWA
A. Pengertian Kesehatan Jiwa
1. A mind that grows and adjust, is in control and is free of stress. (Kondisi jiwa seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan, dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius). (Rosdahl, Textbook of Basic Nursing, 1999: 58) 2. Sikap yang positif terhadap diri sendiri, tumbuh, berkembang, memiliki aktualisasi diri, keutuhan, kebebasan diri, memiliki persepsi sesuai kenyataan dan kecakapan dalam beradaptasi dengan lingkungan. (Stuart & Laraia, Principle and Practice Psychiatric Nursing, 1998) (Yahoda)

3. Fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang dan perkembangan ini berjalan selaras dengan orang lain. (UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1996)

B. Kriteria Sehat Jiwa Menurut Yahoda
1. Sikap positif terhadap diri sendiri
2. Tumbuh kembang dan aktualisasi diri
3. Integrasi (keseimbangan/keutuhan)
4. Otonomi
5. Persefsi realitas
6. Environmental mastery (Kecakapan dalam adaptasi dengan lingkungan)

C. Rentang Sehat Jiwa
1. Dinamis bukan titik statis
2. Rentang dimulai dari sehat optimal mati
3. Ada tahap-tahap
4. Adanya variasi tiap individu
5. Menggambarkan kemampuan adaptasi
6. Berfungsi secara efektif sehat


D. Pengertian Keperawatan Kesehatan Jiwa
Keperawatan adalah ilmu dan kiat yang merupakan perpaduan dan integrasi dari area teori-teori yang berbeda: ilmu-ilmu sosial, seperti psikologi dan sosiologi, ilmu-ilmu dasar seperti Anatomi, fisiologi, mikrobiologi, dan biokimia serta ilmu media tentang diagnose dan pengobatan terhadap penyakit.
Menurut Stuart Sundeen
Keperawatan mental adalah proses interpersonal dalam meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang berpengaruh pada fungsi integrasi.

E. Prinsip-Prinsip Keperawatan Kesehatan Jiwa
1. Peran dan fungsi keperawatan jiwa
2. Hubungan yang terapeutik antara perawat dengan klien
3. Konsep model keperawatan jiwa
4. Model stress dan adaptasi dalam keperawatan jiwa
5. Keadaan-keadaan biologis dalam keperawatan jiwa
6. Keadaan-keadaan psikologis dalam keperawatan jiwa
7. Keadaan-keadaan sosial budaya dalam keperawatan jiwa
8. Keadaan-keadaan lingkungan dalam keperawatan jiwa
9. Keadaan-keadaan legal etika dalam keperawatan jiwa
10. Penatalaksanaan proses keperawatan: dengan standar-standar keperawatan
11. Aktualisasi peran keperawatan jiwa: melalui penampilan standar-standar profesional


KONSEP DASAR NYERI, WNES

Pengertian nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

Fisiologi nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)

Respon Psikologis

respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.

Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :

1) Bahaya atau merusak

2) Komplikasi seperti infeksi

3) Penyakit yang berulang

4) Penyakit baru

5) Penyakit yang fatal

6) Peningkatan ketidakmampuan

7) Kehilangan mobilitas

8) Menjadi tua

9) Sembuh

10) Perlu untuk penyembuhan

11) Hukuman untuk berdosa

12) Tantangan

13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

14) Sesuatu yang harus ditoleransi

15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki

Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya

Respon fisiologis terhadap nyeri

1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b) Peningkatan heart rate

c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d) Peningkatan nilai gula darah

e) Diaphoresis

f) Peningkatan kekuatan otot

g) Dilatasi pupil

h) Penurunan motilitas GI

2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a) Muka pucat

b) Otot mengeras

c) Penurunan HR dan BP

d) Nafas cepat dan irreguler

e) Nausea dan vomitus

f) Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri

1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan

5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

2) Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.

4) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

6) Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.

7) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

9) Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1) skala intensitas nyeri deskritifskala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).


NYERI, WNES

nyeri

Nyeri merupakan alasan yang paling umum seseorang mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama proses penyakit, pemeriksaan diagnostik dan proses pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan banyak orang. Perawat tidak bisa melihat dan merasakan nyeri yang dialami oleh klien, karena nyeri bersifat subyektif (antara satu individu dengan individu lainnya berbeda dalam menyikapi nyeri). Perawat memberi asuhan keperawatan kepada klien di berbagai situasi dan keadaan, yang memberikan intervensi untuk meningkatkan kenyamanan. Menurut beberapa teori keperawatan, kenyamanan adalah kebutuhan dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan. Pernyataan tersebut didukung oleh Kolcaba yang mengatakan bahwa kenyamanan adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia.

A. DEFINISI

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

Teori Specificity “suggest” menyatakan bahwa nyeri adalah sensori spesifik yang muncul karena adanya injury dan informasi ini didapat melalui sistem saraf perifer dan sentral melalui reseptor nyeri di saraf nyeri perifer dan spesifik di spinal cord

Secara umum keperawatan mendefinisikan nyeri sebagai apapun yg menyakitkan tubuh yg dikatakan individu yg mengalaminya, yg ada kapanpun individu mengatakannya

B. ISTILAH DALAM NYERI

* Nosiseptor : serabut syaraf yang mentransmisikan nyeri

§ Non-nosiseptor : serabut syaraf yang biasanya tidak mentransmisikan nyeri

* System nosiseptif : system yang teribat dalam transmisi dan persepsi terhadap nyeri
* Ambang nyeri : stimulus yg paling kecil yg akan menimbulkan nyeri

§ Toleransi nyeri : intensitas maksimum/durasi nyeri yg individu ingin untuk dpt ditahan

C. SIFAT-SIFAT NYERI

§ Nyeri melelahkan dan membutuhkan banyak energi

§ Nyeri bersifat subyektif dan individual

§ Nyeri tak dapat dinilai secara objektif seperti sinar X atau lab darah

§ Perawat hanya dapat mengkaji nyeri pasien dengan melihat perubahan fisiologis tingkah laku dan dari pernyataan klien

§ Hanya klien yang mengetahui kapan nyeri timbul dan seperti apa rasanya

§ Nyeri merupakan mekanisme pertahanan fisiologis

§ Nyeri merupakan tanda peringatan adanya kerusakan jaringan

§ Nyeri mengawali ketidakmampuan

§ Persepsi yang salah tentang nyeri menyebabkan manajemen nyeri jadi tidak optimal

Secara ringkas, Mahon mengemukakan atribut nyeri sebagai berikut:

§ Nyeri bersifat individu

§ Nyeri tidak menyenangkan

§ Merupakan suatu kekuatan yg mendominasi

§ Bersifat tidak berkesudahan

D. FISIOLOGI NYERI

Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri, meskipun tidak ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan memahami fisiologi nyeri, maka perlu mempelajari 3 (tiga) komponen fisiologis berikut ini:

§ Resepsi : proses perjalanan nyeri

§ Persepsi : kesadaran seseorang terhadap nyeri

§ Reaksi : respon fisiologis & perilaku setelah mempersepsikan nyeri

RESEPSI

Stimulus (mekanik, termal, kimia) à Pengeluaran histamin bradikinin, kalium, à Nosiseptor à Impuls syaraf à Serabut syaraf perifer à Kornu dorsalis medulla spinalis à Neurotransmiter (substansi P)à Pusat syaraf di otak àRespon reflek protektif

Adanya stimulus yang mengenai tubuh (mekanik, termal, kimia) akan menyebabkan pelepasan substansi kimia seperti histamin, bradikinin, kalium. Substansi tersebut menyebabkan nosiseptor bereaksi, apabila nosiseptor mencapai ambang nyeri, maka akan timbul impuls syaraf yang akan dibawa oleh serabut saraf perifer. Serabut syaraf perifer yang akan membawa impuls syaraf ada dua jenis, yaitu serabut A-delta dan serabut C. impuls syaraf akan di bawa sepanjang serabut syaraf sampai ke kornu dorsalis medulla spinalis. Impuls syaraf tersebut akan menyebabkan kornu dorsalis melepaskan neurotrasmiter (substansi P). Substansi P ini menyebabkan transmisi sinapis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls syaraf ditransmisikan lebih jauh ke dalam system saraf pusat. Setelah impuls syaraf sampai di otak, otak mengolah impuls syaraf kemudian akan timbul respon reflek protektif.

Contoh:

Apabila tangan terkena setrika, maka akan merasakan sensasi terbakar, tangan juga melakukan reflek dengan menarik tangan dari permukaan setrika.

Proses ini akan berjalan jika system saraf perifer dan medulla spinalis utuh atau berfungsi normal. Ada beberapa factor yang menggangu proses resepsi nyeri, diantaranya sebagai berikut:

§ Trauma

§ Obat-obatan

§ Pertumbuhan tumor

§ Gangguan metabolic (penyakit diabetes mellitus)

Tipe serabut saraf perifer

Serabut saraf A-delta :

§ Merupakan serabut bermyelin

§ Mengirimkan pesan secara cepat

§ Menghantarkan sensasi yang tajam, jelas sumber dan lokasi nyerinya

§ Reseptor berupa ujung-ujung saraf bebas di kulit dan struktur dalam seperti , otot tendon dll

§ Biasanya sering ada pada injury akut

§ Diameternya besar

Serabut saraf C

§ Tidak bermyelin

§ Diameternya sangat kecil

§ Lambat dalam menghantarkan impuls

§ Lokasinya jarang, biasanya dipermukaan dan impulsnya bersifat persisten

§ Menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu hangat, dan tekanan halus

§ Reseptor terletak distruktur permukaan.

NEUROREGULATOR

§ Substansi yang memberikan efek pada transmisi stimulus saraf, berperan penting pada pengalaman nyeri

§ Substansi ini titemukan pada nocicepåtor yaitu pada akhir saraf dalam kornu dorsalis medula spinalis dan pada tempat reseptor dalam saluran spinotalamik

§ Neuroregulator ada dua macam yaitu neurotransmitter dan neuromodulator

§ Neurotransmitter mengirimkan impuls elektrik melewati celah synaptik antara dua serabut saraf

contoh: substansi P, serotonin, prostaglandin

§ Neuromodulator memodifikasi aktivitas saraf dan mengatur transmisi stimulus saraf tanpa mentrasfer secara langsung sinyal saraf yang melalui synaps.

Contoh: endorphin, bradikinin

§ Neuromodulator diyakini aktifitasnya secara tidak langsung bisa meningkatkan atau menurunkan efek sebagian neurotransmitter

Teori gate control

n Dikemukanan oleh Melzack dan wall pada tahun 1965

n Teori ini mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat.

n Dalam teori ini dijelaskan bahwa Substansi gelatinosa (SG) yg ada pada bagian ujung dorsal serabut saraf spinal cord mempunyai peran sebagai pintu gerbang (gating Mechanism), mekanisme gate control ini dapat memodifikasi dan merubah sensasi nyeri yang datang sebelum mereka sampai di korteks serebri dan menimbulkan nyeri.

n Impuls nyeri bisa lewat jika pintu gerbang terbuka dan impuls akan di blok ketika pintu gerbang tertutup

n Menutupnya pintu gerbang merupakan dasar terapi mengatasi nyeri

n Berdasarkan teori ini perawat bisa menggunakannya untuk memanage nyeri pasien

n Neuromodulator bisa menutup pintu gerbang dengan cara menghambat pembentukan substansi P.

n Menurut teori ini, tindakan massase diyakini bisa menutup gerbang nyeri.

PERSEPSI

§ Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang komplek.

§ Persepsi menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu dapat bereaksi

§ Proses persepsi secara ringkas adalah sebagai berikut:

Stimulus nyeri à Medula spinalis àTalamus à Otak (area limbik) Reaksi emosi à Pusat otak à Persepsi

Stimulus nyeri ditransmisikan ke medula spinalis, naik ke talamus, selanjutnya serabut mentrasmisikan nyeri ke seluruh bagian otak, termasuk area limbik. Area ini mengandung sel-sel yang yang bisa mengontrol emosi (khususnya ansietas). Area limbik yang akan berperan dalam memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi syaraf berakhir di pusat otak, maka individu akan mempersepsikan nyeri.


ASKEP JIWA, DEPRESI

askep jiwa

DEPRESI
• MASALAH UTAMA Gangguan alam perasaan: depresi.
• PROSES TERJADINYA MASALAH
Depresi adalah suatu jenis alam perasaan atau emosi yang disertai komponen psikologik : rasa susah, murung, sedih, putus asa -dan tidak bahagia, serta komponen somatik: anoreksia, konstipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan darah dan denyut nadi sedikit menurun. Depresi merupakan gangguan alam perasaan yang berat dan dimanifestasikan dengan gangguan fungsi social dan fungsi fisik yang hebat, lama dan menetap pada individu yang bersangkutan.

Depresi disebabkan oleh banyak faktor antara lain : faktor heriditer dan genetik, faktor konstitusi, faktor kepribadian pramorbid, faktor fisik, faktor psikobiologi, faktor neurologik, faktor biokimia dalam tubuh, faktor keseimbangan elektrolit dan sebagai­nya.

Depresi biasanya dicetuskan oleh trauma fisik seperti penyakit infeksi, pembedah­an, kecelakaan, persalinan dan sebagainya, serta faktor psikik seperti kehilangan kasih sayang atau harga diri dan akibat kerja keras.

Depresi merupakan reaksi yang normal bila berlangsung dalam waktu yang pendek dengan adanya faktor pencetus yang jelas, lama dan dalamnya depresi sesuai dengan faktor pencetusnya. Depresi merupakan gejala psikotik bila keluhan yang bersangkutan tidak sesuai lagi dengan realitas, tidak dapat menilai realitas dan tidak dapat dimengerti oleh orang lain.

MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

• Gangguan alam perasaan: depresi

• Data subyektif:

Tidak mampu mengutarakan pendapat dan malas berbicara.Sering mengemukakan keluhan somatic seperti ; nyeri abdomen dan dada, anoreksia, sakit punggung,pusing. Merasa dirinya sudah tidak berguna lagi, tidak berarti, tidak ada tujuan hidup, merasa putus asa dan cenderung bunuh diri. Pasien mudah tersinggung dan ketidakmampuan untuk konsentrasi.

• Data obyektif:

Gerakan tubuh yang terhambat, tubuh yang melengkung dan bila duduk dengan sikap yang merosot, ekspresi wajah murung, gaya jalan yang lambat dengan lang­kah yang diseret.Kadang-kadang dapat terjadi stupor. Pasien tampak malas, lelah, tidak ada nafsu makan, sukar tidur dan sering me­nangis. Proses berpikir terlambat, seolah-olah pikirannya kosong, konsentrasi tergang­gu, tidak mempunyai minat, tidak dapat berpikir, tidak mempunyai daya khayal Pada pasien psikosa depresif terdapat perasaan bersalah yang mendalam, tidak masuk akal (irasional), waham dosa, depersonalisasi dan halusinasi. Kadang-kadang pasien suka menunjukkan sikap bermusuhan (hostility), mudah tersinggung (irritable) dan tidak suka diganggu. Pada pasien depresi juga mengalami kebersihan diri kurang dan keterbelakangan psikomotor.

• Koping maladaptif

• DS : Menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak ada harapan.

• DO : Nampak sedih, mudah marah, gelisah, tidak dapat mengontrol impuls.

Mekanisme koping yang digunakan adalah denial dan supresi yang berlebihan .

• DIAGNOSA KEPERAWATAN

• Resiko mencederai diri berhubungan dengan depresi.

• Gangguan lam perasaan: depresi berhubungan dengan koping maladaptif.

• RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

• Tujuan umum: Klien tidak mencederai diri.

• Tujuan khusus

• Klien dapat membina hubungan saling percaya

Tindakan:

• Perkenalkan diri dengan klien dengan cara menyapa klien dengan ramah, baik verbal dan non verbal, selalu kontak mata selama interaksi dan perhatikan kebutuhan dasar klien.

• Lakukan interaksi dengan pasien sesering mungkin dengan sikap empati

• Dengarkan pemyataan pasien dengan sikap sabar empati dan lebih banyak memakai bahasa non verbal. Misalnya: memberikan sentuhan, anggukan.

• Perhatikan pembicaraan pasien serta beri respons sesuai dengan keinginannya

• Bicara dengan nada suara yang rendah, jelas, singkat, sederhana dan mudah dimengerti

• Terima pasien apa adanya tanpa membandingkan dengan orang lain.

• Klien dapat menggunakan koping adaptif

• Beri dorongan untuk mengungkapkan perasaannya dan mengatakan bahwa perawat memahami apa yang dirasakan pasien.

• Tanyakan kepada pasien cara yang biasa dilakukan mengatasi perasaan sedih/menyakitkan

• Diskusikan dengan pasien manfaat dari koping yang biasa digunakan

• Bersama pasien mencari berbagai alternatif koping.

• Beri dorongan kepada pasien untuk memilih koping yang paling tepat dan dapat diterima

• Beri dorongan kepada pasien untuk mencoba koping yang telah dipilih

• Anjurkan pasien untuk mencoba alternatif lain dalam menyelesaikan masalah.

• Klien terlindung dari perilaku mencederai diri

Tindakan:

• Pantau dengan seksama resiko bunuh diri/melukai diri sendiri.

• Jauhkan dan simpan alat-alat yang dapat digunakan olch pasien untuk mencederai dirinya/orang lain, ditempat yang aman dan terkunci.

• Jauhkan bahan alat yang membahayakan pasien.

• Awasi dan tempatkan pasien di ruang yang mudah dipantau oleh peramat/petugas.

4. Klien dapat meningkatkan harga diri

Tindakan:

4.1. Bantu untuk memahami bahwa klien dapat mengatasi keputusasaannya.

4.2. Kaji dan kerahkan sumber-sumber internal individu.

4.3. Bantu mengidentifikasi sumber-sumber harapan (misal: hubungan antar sesama, k eyakinan, hal-hal untuk diselesaikan).

5. Klien dapat menggunakan dukungan sosial

Tindakan:

5.1. Kaji dan manfaatkan sumber-sumber ekstemal individu (orang-orang terdekat, tim pelayanan kesehatan, kelompok pendukung, agama yang dianut).

5.2. Kaji sistem pendukung keyakinan (nilai, pengalaman masa lalu, aktivitas keagamaan, kepercayaan agama).

5.3. Lakukan rujukan sesuai indikasi (misal : konseling pemuka agama).

• Klien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat

Tindakan:

6.1. Diskusikan tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan efek samping minum obat).

6.2. Bantu menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar pasien, obat, dosis, cara, waktu).

6.3. Anjurkan membicarakan efek dan efek samping yang dirasakan.

6.4. Beri reinforcement positif bila menggunakan obat dengan benar


SP KLIEN DGN PRILAKU KEKERASAN, WNES

strategi pelaksanaan klien dengan perilaku kekerasan

GAMBARAN KASUS

Nn. D umur 20 tahun yang beralamat di jalan Mawar no.3, Cilandak, Jakrta Selatan. Ia dibawa ke RSJ Marzoeki Mahdi Bogor pada tanggal 24-03-2009, dengan alas an kakak klien mengatakan bahwa Nn.D sering berteriak sering memukul dirinya sendiri. Sebelumnya sekitar 8 bulan yang klien pernah dibawa oleh keluarganya ke paranormal dengan alasan yang sama, tetapi klien tidak kunjunng sembuh. Keluarga klien mengatakan juga bahwa klien mengalami gagguan jiwa sejak ia diceraikan oleh suaminya. Dan selama klien berumahtangga dengan mantan suaminya, klien juga sering mendapat perilaku kekerasan dari suaminya, seperti dipukul atau diinjak perutnya saat klien sedang hamil 4 bulan.

Saat dilakukan pengkajian klien tampak berantakan, tekanan darh klien 140/90 mmHg, Nadi 89 x/menit, suhu 37o C, dan RR 24 x/menit. Mata klien juga melotot dan dengan pandangan yang tajam, nada suara klien juga tinggi, tangan sering mengepal, tampak tegangn saat bercerita dan pembicaraan klien kasar.

STRATEGI PELAKSANAAN KLIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN

A. Proses keperawatan

1. Kondisi klien

a. Data subyektif :

1) Klien mengatakan pernah melakukan tindak kekerasan

2) Klien mengatakan merasa orang lain mengancam

3) Klien mengatakan orang lain jahat

b. Data objektif :

1) Klien tampak tegang saat bercerita

2) Pembicaraan klien kasar jika dia menceritakan marahnya

3) Mata melotot, pandangan tajam

4) Mengancam secara verbal dan fisik

5) Nada suara tinggi

6) Tangan mengepal

7) Berteriak/menjerit

8) Memukul

2. Diagnosa keperawatan

Risiko tinggi perilaku kekerasan

3. Tujuan keperawatan

a. Tujuan umum :

Klien dapat mengontrol atau mencegah perilaku kekerasan baik secara fisik, sosial atau verbal, spiritual, dan terapi psikoformatika.

b. Tujuan khusus :

1) Klien dapat membina hubungan saling percaya

2) Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan

3) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan

4) Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dapat dilakukan

5) Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan

6) Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan

7) Klien dapat mempraktekkan cara mengontrol perilaku kekerasan

8) Klien dapat memasukkan latihan ke dalam jadwal kegiatan harian.

4. Tindakan keperawatan

a. Bina hubungan saling percaya

b. Bantu klien untuk mengungkapkan perasaan marahnya

c. Bantu klien mengungkapkan tanda-tanda perilaku kekerasan yang dialaminya

d. Diskusikan denngan klien perilaku kekerasan yang dilakukan selama ini

e. Diskusikan dengan klien akibat negative (kerugian) cara yang dilakukan pada :

1) Diri sendiri

2) Orang lain/keluarga

3) Lingkungan

f. Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan

g. Tentang mempraktekkan latihan cara mengontrol fisik

h. Anjurkan klien untuk memasukkan kegiatan didalam jadwal kegiatan harian

B. Strategi komunikasi

1. Fase orientasi

a. Salam : “ Assalamu’alaikum, Selamat pagi? ”

b. Evaluasi : “ Bagaimana perasaan Mba saat ini? Apa yang sedang Mba

rasakan saat ini? ”

“ Perkenalkan Mba Nama saya Suster S. Mba namanya

siapa?biasanya dipanggil apa? ”

c. Kontrak

1) Topik : “ Baiklah Mba D, saat ini kita akan membahas tentang penyebab

Mba marah dan mengontrol rasa marah secara fisik. ”

2) Waktu : “ Mba D ingin berapa lama kita akan berbincang-bincang? ”

3) Tempat : “ Dimana tempat Mba D inginkan untuk kita berbincang-bincanng? ”

2. Fase kerja

a. Identifikasi penyebab perilaku kekerasan :

“ Apa yang menyebabkan Mba D marah? ”

b. Identifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan

“ Saat Mba D sedang marah apa yang akan Mba rasakan? Apakah dada Mba berdebar-debar lebih kencang? Atau Mata melotot? ”.

c. Identifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan

“ Saat Mba D marah apa yang Mba lakukan? ”

d. Identifikasi akibat risiko tinggi perilaku kekerasan

“ Apakah dengnan cara itu marah/kesal Mba dapat terselesaikan? ” Ya tentu tidak, apa kerugian yang Mba D alami? Betul Mba jadi masuk ke ruang Isolasi.”

e. Menyebutkan cara mengontrol risiko tinggi perialu kekerasan

“Pertama mari kita coba melakukan latihan tarik napas dalam. Sekarang Mba D bisa berdiri atau duduk rilex’s, lalu tarik napas dalam dari hidung tahan sebentar, lalu keluarkan perlahan-lahan melalui mulut. Ini dilakukan sebanyak 5 kali ya Mba? ”

f. Membantu klien mempraktekkan cara latihan cara mengontrol fisik

“ Sekarang coba Mba lakukan bagaimana latihan napas dalam? Pertam tarik napas melalui hidung, ya seperti itu Mba bagus, kemudian hembuskan melalui mulut. Ini dilakukan selam 5 kali ya Mba. Ayo sekarang lakukan kembali, tarik napas dalam-dalam melalui hidung, Mba D rasakan betapa sejuknya udara bersih yang masuk ke paru-paru kita, kemudian hembuskan pelan-pelan melalui mulut, ya seperti itu Mba, Bagus..”

g. Membantu klien memasukkan kegiatan sehari-hari

“ Nah..Mba D tadi telah melakukan latiahan teknik relaksasi napas dalam, bagaimana kalau latihan ini kita buat jadwal kegiatan sehari-hari Mba? Baik kita masukkan ya ke jadwal kegiatan sehari-hari Mba? Kapan waktu yang Mba D inginkan untuk melakukan latihan ini? Bagaimana kalau setiap jam 09.00 pagi?

3. Fase terminasi

a. Evaluasi

“ Bagaiman perasaan Mba setelah melakukan latihan teknik relaksasi napas dalam tadi? Ya..betul, dan kelihatannya Mba terlihat sudah lebih rileks. Kalau begitu coba Mba praktikkan lagi latihan teknik napas dalam yang saya ajarkan tadi. ”.

b. RTL (Rencana Tindak Lanjut)

“ Ya..Bagus Mba. Mba telah bisa melakukannya dengan baik. Besok kita akan bertemu kembali untuk mengajarkan Mba D teknik relakasasi lain yang dpat membantu mengontrol rasa marah Mba. Tapi sebelumnya Mba D harus bias mengatasi rasa marah Mba dengan teknik relaksasi napas dalam yang telah saya ajarkan tadi.”

c. Kontrak waktu yang akan datang

“ Baik Mba D kita sudah selesai berbincang-bincangnya, besok saya akan menemui Mba kembali untuk melihat perkembangan kondisi Mba D dan mengajarkan teknik relaksasi yang lain. Mba D mau jam berapa kita ketemunya? Baik jam ya Mba , sesuai kesepakatan kita. Tempatnya di sisni ya Mba? ”

d. Antisipasi maslah

“ Mba, jika Mba D ingin merasa marah lagi pada saat saya tidak ada, Mba dapat melakukan sendiri teknik relaksasi napas dalam yang telah saya ajarkan tadi, atau jika dengan teknik ini rasa marah Mba D tidak berkurang Mba bias memanggil perawat yang ada di sini. Baik Mba, kalau begitu saya permisi dulu, sampai jumpa. Assalamu’alaikum..”


MAL PRAKTEK PADA ANAK, WNES

mal praktek pada anak

TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Malpraktik

Menurut Guwandi malpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka dilingkungan wilayah yang sama. Menurut Vestal KW (1995) malpraktik adalah kegagalan seorang professional (misalnya dokter dan perawat) untuk melakukan praktik sesuai standar profesi yang berlaku bagi seorang karena memiliki keterampilan dan pendidikan.

Vestal, K.W. (1995) mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti mal praktik, apabila penggugat dapat menunjukan hal-hal dibawah ini :
1) Duty. Pada saat terjadinya cidera, terkait dengan kewajibannya yaitu, kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidaknya meringankan beban penderita pasiennya berdasarkan standar profesi. Hubungan perawat-klien menunjukan bhwa melakukan kewajiban berdasarkan standar keperawatan.
2) Breach of the Duty. Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa ang seharusnya dilakukan menurut standar profesi. Contoh : pelanggaran yang terjadi terhadap antara pasien antara lain, kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.
3) Injury. Seseorang mengalami cidera (injury) atau kerusakan (damage) yang didapat dituntut secara hukum, misalnya pasien mengalami cidera sebagai akiat pelanggaran. Keluhan nyeri, adaya penderitya atau stress emosi dapat dipertimbangkan sebagai akibat cidera jika terkait dengan cidera fisik.
4) Proximate caused. Pelanggaran terhadap kewajibannya meyeabkan atau terkait dengan cidera yang dialami pasien. Misalnya, cidera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran terhadap kewajiban perawat terhadap pasien.
(Julianus,Akke.Hal.10)

Malpraktik adalah kelalaian yang dilakukan oleh seorang professional seperti perawat atau dokter. ( Perry dan Potter, 2005 )

B Pedoman Untuk Mencegah Terjadinya Malpraktik

Venstal, K. W, (1995) memberikan pedoman untuk mencegah terjadinya mal praktik. Pedoman-pedoman itu sebagai berikut :
1. Berikankan kasih sayang kepada pasien sebagaimana anda mengasihi diri sendiri. Layani pasien dan keluarganya dengan jujur dan penuh rasa hormat.
 perawat telah memberikan kasih sayang pada pasiennya, tetapi perawat melakukan tindakan keperawatan tidak sesuai dengan standar. Sehingga malpraktik masih terjadi.
2. Gunakan pengetahuan keperawatan untuk menetapkan diagnosa keperawatan yang tepat dan laksanakan intervensi keperawatan yang diperlukan. Perawat mempunyai kewajiban menyusun pengkajian dan melaksanakannya dengan benar.
 perawat tidak teliti dan tidak hati-hati dalam melakukan tindakan keperawatan. Hal ini mengakibatkan malpraktik masih terjadi.
3. Utamakan kepentingan pasien. Jika tim kesehatan lainnya ragu-ragu terhadap tindakan yang akan dilakukan atau kurang merespon perubahan kondisi pasien, diskusikan bersama tim keperawatan guna memberikan masukan yang diperlukan bagi tim kesehatan lainnya.
 perawat terburu-buru dalam mengambil keputusan untuk melakukan tindakan keperawatan.Sehingga malpraktik masih terjadi.
4. Tanyakan saran atau pesan yang diberikan oleh dokter jika perintah tidak jelas, masalah itu ditanyakan oleh pasien atau pasien menolak, tindakan yang meragukan atau tidak tepat sehubungan dengan perubahan pada kondisi kesehatan pasien. Terima perintah dengan jelas dan tertulis.
 Perawat tidak melakukan kolaborasi dengan dokter dalam memberikan obat pada pasien. Hal ini merupakan salah satu penyebab malpraktik masih terjadi.
5. Tingkatkan kemampuan anda secara terus menerus sehingga up to date. Ikuti perkembangan terbaru yang terjadi di lapangan dan bekerja berdasarkan pedoman yang berlaku.
 sebenarnya, kemampuan perawat dalam melakukan tindakan keperawatan sudah baik. Namun, belum sempurna dalam pelaksanaan tindakan keperawatannya.
6. Jangan melakukan tindakan yang belum dikuasai.
 sebelum melakukan tindakan keperwatan pada klien, perawat harus mempersiapkan diri terlebih dahulu.
7. Laksanakan asuhan keperwatan berdasarkan model proses keperawatan. Hindari kekurang hati-hatian dalam memberikan asuhan keperawatan.
 karena perawat tidak melaksanakan asuhan keperawatan dengan baik dan benar mengakibatkan terjadinya malpraktik.
8. Catat rencana keperawatan respon pasien selama dalam asuahan keperawatan. Nyatakan secara jelas dan lengkap. Catat sesegera mungkin fakta yang anda observasi secara jelas.
 karena perawat tidak mencatat rencana keperawatan dan perawat juga tidak mencatat respon klien setelah melakukan tindakan, sehingga mengakibatkan terjadinya malpraktik.
9. Lakukan konsultasi dengan anggota tim lainnya. Biasakan bekerja berdasarkan kebijakan organisasi atau rumah sakit dan prosedur tindakan yang berlaku.
 karena perawat tidak bekerja berdasarkan kebijakan organisasi atau rumah sakit dan tidak bekerja berdasarkan prosedur tindakan yang berlaku, mengakibatkan terjadinya malpraktik.
10. Pelimpahan tugas secara bijaksana dan ketahui lingkup tugas masing-masing. Jangan pernah menerima atau meminta orang lain menerima tanggung jawab yang tidak dapat anda tangani.
terkadang perawat melimpahkan tugas pada perawat lain tapi, tindakannya tidak jelas dan perawat yang dilimpahkan tugas belum dapat melakukan tindakan keperawatan yang dilimpahkan. Hal ini mengakibatkan terjadinya malpraktik.

C Pengertian Keperawatan anak.
Keyakinan yang diperoleh perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan
anak yang berfokus pada keluarga
Artinya :
Sebagai perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan anak, harus mampu memfasilitasi keluarga dalam berbagai bentuk pelayanan kesehatan baik berupa pemberian tindakan keperawatan langsung maupun pemberian pendidikan kesehatan pada anak. Arti Anak itu sendiri yaitu seseorang yang usianya < 18 tahun dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus baik kebutuhan fisik, psikologis, sosial dan spiritual. (Alimul Aziz Hidayat. 2005. Pengantar Keperawatan Anak I)


D Prinsip-prinsip Keperawatan Anak
Dalam menerapkan asuhan perawat harus memahami dan mengingat ada beberapa prinsip yang berbeda dalam Asuhan Keperawatan Anak diantaranya:
1. Anak bukan miniatur (yang diperlakukan hanya sebagai mainan) orang dewasa tetapi sebagai individu yang unik yang artinya tidak boleh menganggap anak dari ukuran fisik saja tetapi mempunyai kemapuan dan kematangannya.
2. Anak mempunyai kebutuhan sesuai dengan tahap perkembangannya (sesuai dengan usia tumbuh kembangnya) kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan Nutrisi, cairan, eliminasi, aktivitas, istirahat tidur, selain itu anak juga membutuhkan kebutuhan psikologis, social, spiritual.
3. Pelayanan keperawatan anak berorientasi pada upaya penceghan penyakit dan meningkatkan derajat kesehatan bukan hanya mengobati anak yang sakit tujuannya adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian pada anak karena anak sebagai penerus bangsa.
4. Untuk mensejahterakan anak keperawatan selalu mengutamakan keperawatan anak. Anak yang sejahtera berarti anak yang tidak merasakan gangguan psikologis seperti rasa cemas, takut, maupun sejenisnya. Upaya unutk mensejahterakan anak, tidak terlepas dari perannya keluarga juga.
5. Sebagai bagian dari keluarga anak harus dilibatkan dalam pelayanan keperawatan hali ini harus disepakati antara keluarga, anak, dan tim kesehatan.
6. Tujuan keperawatan anak adalah untuk meningkatkan kematangan yang sehat bagi anak sebagai makhluk biopsikososial dan spiritual. Upaya kematangan pada anak adalah selalu memperhatikan lingkungan baik secara internal maupun eksternal karena kematangan anak sangat ditentukan dari lingkungan masyarakat.
7. Pada masa yang akan datang kecenderungan keperawatan anak akan berfokus pada ilmu tumbuh kembang, sebab ilmu ini akan mempelajari Aspek kebutuhan anak.
(Alimul Aziz Hidayat. 2005. Pengantar Keperawatan Anak I)
E Perlindungan Bagi Anak
Florence Nightingale mengatakan “bahwa rumah sakit tidak boleh membahayakan pasien”. Pernyataan ini sama pentingnya seperti di kala itu. Sementara pasien berada dalam rumah sakit, tanggung jawab perawat terhadap pasien melibatkan pencegahan terhadap kecelakaan demikian juga integritas professional, melaksanakan prosedur perawatan dengan ketermpilan dan pengertian. (M.Sacharin,Rosa. 1996. hal 81)

F Hal - hal yang harus diperhatikan saat penyuntikan intravena :
1. Obat-obat yang diberikan harus berdasarkan program.
2. Sebelum menyiapkan obat suntikan, baca dengan teliti petunjuk pengobatan yang ada dalam catatan medik oleh status kesehatan pasien.
3. Pada waktu menyiapkan obat, baca dengan teliti label / etiket dari tiap-tiap obat.
4. Perhatikan tekhnik septik dan aseptik
5. Spuit dan jarum suntik tidak boleh dipergunakan untuk menyuntik pasien lain sebelum disterilkan.
6. Memotong ampul dengan gergaji ampul harus dilakukan secara hati-hati.
7. Pasien yang telah mendapat suntikan harus diawasi untuk beberapa saaat
8. bagi pasien berpenyakit meular melalui peredaran darah harus digunakan jarum dan spluit khusus.
(Tim Departemen Kesehatan RI.1994)

G Perawat menggunakan lima benar pemberian obat untuk menjamin pemberian obat yang aman :(Perry & Potter, 2005)
• Benar obat
• Benar dosis
• Benar klien
• Benar rute pemberian
• Benar waktu


BAB III
TINJAUAN KASUS

Di RSUD Nabire, seorang anak bernama Welly Yane Rian Maniawasi (11 tahun) meninggal akibat disuntik dengan obat penenang (Diazepam) sebanyak 3 kali berturut-turut oleh perawat yang bernama Dombing Brata. Tindakan tersebut dilakukan tanpa kolaborasi dan tanpa instruksi dari dokter jaga. Akibat kelalaian tersebut , setelah disuntik tubuh Welly menjadi lemas, Welly mengalami muntah berak dan muntah kuning. Hal ini terjadi karena sudah kelebihan dosis penyuntikan dan efek samping dari obat tersebut. Tak berapa lama kemudian, Welly menghembuskan nafas terkhirnya. 1 jam setelah meninggal, tubuh Welly berubah menjadi kemerah-merahan. Di ujung jari Welly dan beberapa bagian tubuh tampak kebiru-biruan. Selain itu, mayatnya terlihat keras seperti di formalin.
Tindakan perawat tersebut jika dikaitkan dengan teori malpraktik yang ada di dalam bab II menunjukkan bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan malpraktik karena tindakan yang dilakukan tidak sesuai dengan standar profesi yang berlaku.

BAB IV
PEMBAHASAN

Menurut Guwandi malpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka dilingkungan wilayah yang sama. ( Julianus, Akke. 2002. Malpraktik dalam Keperawatan ).
Berdasarkan tinjauan kasus diatas, kasus tersebut termasuk dalam malpraktik karena perawat tersebut tidak menerapkan keterampilan dan pengetahuannya dalam memberikan perawatan, tetapi perawat tersebut memberikan pengobatan tanpa berkolaborasi dengan dokter sehingga menyebabkan over dosis pada pasien.
Seharusnya perawat tersebut melakukan tindakan sesuai dengan profesinya, bukan melakukan tindakan invasif yang merupakan wewenang dokter, bila perawat ingin melakukan tindakan memberikan obat seharusnya berkolaborasi dengan dokter. Bukan saja menganggap tugas memberikan obat itu sebagai tindakan perawat. Seharusnya tindakan keperawatan hanyalah mencakup tindakan kebutuhan dasar manusia dan ilmu yang dipelajari di keperawatan. Bila perawat melakukan kesalahan, dikenakan pelanggaran-pelanggaran sebagai berikut :

1. Pelanggaran etika profesi
Pelanggaran ini sepenuhnya tanggung jawab organisasi profesi ( MKEK ) sebagai mana tercantum pada pasal 26 dan 27 anggaran dasar PPNI. Sebagaimana halnya dokter perawat pun merupakan tenaga kesehatan professional yang menghadapi banyak masalah moral atau etik sepanjang melaksanakan praktek profesional. Beberapa masalah etik antara lain moral unpreparedness, moral blindness. Amoralism, dan moral fanatism, masalah etik yang terjadi pada tenaga keperawatan ( PPNI ) melalui MKEK.


2. Sanksi Administratif
Berdasarkan Keppres No. 56 tahun 1995 di bentuk Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan ( MDTK ) dalam rangka pemberian perlindungan yang seimbang dan obyektif kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima pelayanan kesehatan. MDTK bertugas meneliti dan menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Berdasarkan pemeriksaan MDTK, hasilnya akan dilaporkan kepada pejabat kesehatan yang berwenang untuk diambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan dengan memperhatikan Undang-Undang yang berlaku. Tindakan sebagaimana yang dimaksud tidak mengurangi ketentuan pada pasal 54 ayat 1 dan 2 UU no 23 tahun 1992 tentang kesehatan, yang berbunyi sebagai berikut :
1. Sebagai tenaga kesehatan terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesehatan atau kelalaian dalam melaksanakan proses dapat dikenakan tindakan disiplin
2. Penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 di tentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan ( MDTK ). Keanggotaan MDTK terdiri dari unsur sarjana hukum, ahli kesehatan yang diwakili organisasi profesi di bidang kesehatan, ahli agama, ahli psikologi, dan ahli sosiologi. Organisasi ini berada di tingkat pusat dan tingkat profesi. Sejauh in sulawesi selatan belum terbentuk MDTK.

Dalam hal ini seharusnya perawat melakukan tindakan sebagai berikut:
1. Utamakan kepentingan pasien
2. Tanyakan saran atau pesan yang diberikan oleh dokter jika pesan tidak jelas
3. Jangan melakukan tindakan yang belum dikuasai.
4. Hindari kekurang hati-hatian dalam memberikan asuhan keperawatan.
5. Lakukan konsultasi dengan anggota tim lainnya.
6. Biasakan bekerja berdasarkan kebijakan organisasi atau rumah sakit dan prosedur tindakan yang berlaku. (Venstal,1995)


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Jadi, saatb perawat melakukan tindakan keperawatan harus sangat berhati-hati karena perawat adalah seorang yang bekerja sebagai profesi yang professional sehingga harus dituntut bekerja dan berpikir secara efektif, tepat, dan efesien. Hal ini dikarenakan perawat bekerja di lingkungan yang membutuhkan bantuan baik secara biopsikososial dan spiritual.
Seperti dalam kasus diatas sangat jelas bahwa perawat dalam kasus itu melakukan tindakan malpraktik keperawatan. Hal ini dapat kita ketahui dengan jelas setelah kita melihat pengertian dalam bab 2. Tindakan perawat tersebut sangat sesuai dengan kriteria mal praktik karena perawat tersebut ceroboh, tidak terampil, serta mempunyai pengetahuan yang dangkal (dalam tinjauan kasus: perawat memberikan obat penenang tanpa kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, perawat memberikan dosis yang dimana dosis tersebut tidak dapat ditoleran oleh pasien karena kurangnya pengetahuan). Mengapa perawat tersebut jelas masuk dalah kriteria malpraktik karena didalam tinjauan teori diterangkan bahwa malpraktik adalah kelalaian dari perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka dilingkungan wilayah yang sama (Guwandi).

B. Saran
Diharapkan perawat dalam melakukan setiap tindakan harus berpikir secara kritis dan tidak melakukan tindakan yang sesuai dengan keinginannya tapi harus berdasarkan prinsip SOP (Standart Operating Procedur) yang ada di dalam rumah sakit, sehingga perawat tidak melakukan tindakan malpraktik yang dapat merugikan pasien.

Daftar Pustaka

Julianus Ake. 2002. Malpraktik Dalam Keperawatan. Jakarta:EGC.

Azis, Alimul, 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta:EGC.

Potter,Perry.2005.Fundamental Keperawatan.Jakarta:EGC.

Tim Departemen Kesehatan RI.1994.Prosedur Perawatan Anak.Jakarta:Departemen Kesehatan.


ASKEP MYOCARDITIS, WNES

askep myocarditis

TINJAUAN PUSTAKA
MYOCARDITIS

A. PENGERTIAN
Myocardium lapisan medial dinding jantung yang terdiri atas jaringan otot jantung yang sangat khusus (Brooker, 2001).
Myocarditis adalah peradangan pada otot jantung atau miokardium. pada umumnya disebabkan oleh penyakit-penyakit infeksi, tetapi dapat sebagai akibat reaksi alergi terhadap obat-obatan dan efek toxin bahan-bahan kimia dan radiasi (FKUI, 1999). Myocarditis adalah peradangan dinding otot jantung yang disebabkan oleh infeksi atau penyebab lain sampai yang tidak diketahui (idiopatik) (Dorland, 2002).
Miokarditis adalah inflamasi fokal atau menyebar dari otot jantung (miokardium) (Doenges, 1999).
Dari pebgertian diatas dapat disimpulkan bahwa myocarditis adalah peradangan/inflamasi otot jantung oleh berbagai penyebab terutama agen-agen infeksi.

B. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
1) Acute isolated myocarditis adalah miokarditis interstitial acute dengan etiologi tidak diketahui.
2) Bacterial myocarditis adalah miokarditis yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
3) Chronic myocarditis adalah penyakit radang miokardial kronik.
4) Diphtheritic myocarditis adalah mikarditis yang disebabkan oleh toksin bakteri yang dihasilkan pada difteri : lesi primer bersifat degeneratiff dan nekrotik dengan respons radang sekunder.
5) Fibras myocarditis adalah fibrosis fokal/difus mikardial yang disebabkan oleh peradangan kronik.
6) Giant cell myocarditis adalah subtype miokarditis akut terisolasi yang ditandai dengan adanya sel raksasa multinukleus dan sel-sel radang lain, termasuk limfosit, sel plasma dan makrofag dan oleh dilatasi ventikel, trombi mural, dan daerah nekrosis yang tersebar luas.
7) Hypersensitivity myocarditis adalah mikarditis yang disebabkan reaksi alergi yang disebabkan oleh hipersensitivitas terhadap berbagai obat, terutama sulfonamide, penicillin, dan metildopa.
8) Infection myocarditis adalah disebabkan oleh agen infeksius ; termasuk bakteri, virus, riketsia, protozoa, spirochaeta, dan fungus. Agen tersebut dapat merusak miokardium melalui infeksi langsung, produksi toksin, atau perantara respons immunologis.
9) Interstitial myocarditis adalah mikarditis yang mengenai jaringan ikat interstitial.
10) Parenchymatus myocarditis adalah miokarditis yang terutama mengenai substansi ototnya sendiri.
11) Protozoa myocarditis adalah miokarditis yang disebabkan oleh protozoa terutama terjadi pada penyakit Chagas dan toxoplasmosis.
12) Rheumatic myocarditis adalah gejala sisa yang umum pada demam reumatik.
13) Rickettsial myocarditis adalah mikarditis yang berhubungan dengan infeksi riketsia.
14) Toxic myocarditis adalah degenerasi dan necrosis fokal serabut miokardium yang disebabkan oleh obat, bahan kimia, bahan fisik, seperti radiasi hewan/toksin serangga atau bahan/keadaan lain yang menyebabkan trauma pada miokardium.
15) Tuberculosis myocarditis adalah peradangan granulumatosa miokardium pada tuberkulosa.
16) Viral myocarditis disebabkan oleh infeksi virus terutama oleh enterovirus ; paling sering terjadi pada bayi, wanita hamil, dan pada pasien dengan tanggap immune rendah (Dorland, 2002).

C. PATOFISIOLOGI
Kerusakan miokard oleh kuman-kuman infeksius dapat melalui tiga mekanisme dasar :
1) Invasi langsung ke miokard.
2) Proses immunologis terhadap miokard.
3) Mengeluarkan toksin yang merusak miokardium.
Proses miokarditis viral ada 2 tahap :
Fase akut berlangsung kira-kira satu minggu, dimana terjadi invasi virus ke miokard, replikasi virus dan lisis sel. Kemudian terbentuk neutralizing antibody dan virus akan dibersihkan atau dikurangi jumlahnya dengan bantuan makrofag dan natural killer cell (sel NK).
Pada fase berikutnya miokard diinfiltrasi oleh sel-sel radang dan system immune akan diaktifkan antara lain dengan terbentuknya antibody terhadap miokard, akibat perubahan permukaan sel yang terpajan oleh virus. Fase ini berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan diikuti kerusakan miokard dari yang minimal sampai yang berat (FKUI, 1999).
D. GEJALA KLINIS
 Letih.
 Napas pendek.
 Detak jantung tidak teratur.
 Demam.
 Gejala-gejala lain karena gangguan yang mendasarinya (Griffith, 1994).
 Menggigil.
 Demam.
 Anoreksia.
 Nyeri dada.
 Dispnea dan disritmia.
 Tamponade ferikardial/kompresi (pada efusi perikardial) (DEPKES, 1993).

E. KOMPLIKASI
1) Kardiomiopati kongestif/dilated.
2) Payah jantung kongestif.
3) Efusi perikardial.
4) AV block total.
5) Trombi Kardiac (FKUI, 1999).

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) Laboratorium : leukosit, LED, limfosit, LDH.
2) Elektrokardiografi.
3) Rontgen thorax.
4) Ekokardiografi.
5) Biopsi endomiokardial (FKUI, 1999).

G. PENATALAKSANAAN
1) Perawatan untuk tindakan observasi.
2) Tirah baring/pembatasan aktivitas.
3) Antibiotik atau kemoterapeutik.
4) Pengobatan sistemik supportif ditujukan pada penyakti infeksi sistemik (FKUI, 1999).
5) Antibiotik.
6) Obat kortison.
7) Jika berkembang menjadi gagal jantung kongestif : diuretik untuk mnegurangi retensi ciaran ; digitalis untuk merangsang detak jantung ; obat antibeku untuk mencegah pembentukan bekuan (Griffith, 1994).




MANAJEMEN KEPERAWATAN
MYOCARDITIS




A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien myocarditis (Marilynn E. Doenges, 1999) meliputi :
 Aktivitas / istirahat
Gejala : kelelahan, kelemahan.
Tanda : takikardia, penurunan tekanan darah, dispnea dengan aktivitas.
 Sirkulasi
Gejala : riwayat demam rematik, penyakit jantung congenital, bedah jantung, palpitasi, jatuh pingsan.
Tanda : takikardia, disritmia, perpindaha titik impuls maksimal, kardiomegali, frivtion rub, murmur, irama gallop (S3 dan S4), edema, DVJ, petekie, hemoragi splinter, nodus osler, lesi Janeway.
 Eleminasi
Gejala : riwayat penyakit ginjal/gagal ginjal ; penurunan frekuensi/jumlsh urine.
Tanda : urin pekat gelap.
 Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : nyeri pada dada anterior (sedang sampai berat/tajam) diperberat oleh inspirasi, batuk, gerakkan menelan, berbaring.
Tanda : perilaku distraksi, misalnya gelisah.
 Pernapasan
Gejala : napas pendek ; napas pendek kronis memburuk pada malam hari (miokarditis).
Tanda : dispnea, DNP (dispnea nocturnal paroxismal) ; batuk, inspirasi mengi ; takipnea, krekels, dan ronkhi ; pernapasan dangkal.



 Keamanan
Gejala : riwayat infeksi virus, bakteri, jamur (miokarditis ; trauma dada ; penyakit keganasan/iradiasi thorakal ; dalam penanganan gigi ; pemeriksaan endoskopik terhadap sitem GI/GU), penurunan system immune, SLE atau penyakit kolagen lainnya.
Tanda : demam.
 Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : terapi intravena jangka panjang atau pengguanaan kateter indwelling atau penyalahgunaan obat parenteral.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi miokardium, efek-efek sistemik dari infeksi, iskemia jaringan.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard, penurunan curah jantung.
3. Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan degenerasi otot jantung, penurunan/kontriksi fungsi ventrikel.
4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, rencana pengobatan berhubungan dengan kurang pengetahuan/daya ingat, mis- intepretasi informasi, keterbatasan kognitif, menyangkal diagnosa.

C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999).
1. Nyeri
Tujuan : nyeri hilang atau terkontrol.
Kriteria Hasil : - Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
 Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan awitan dan faktor pemberat atau penurun. Perhatikan petunjuk nonverbal dari ketidaknyamanan, misalnya ; berbaring dengan diam/gelisah, tegangan otot, menangis.
R : pada nyeri ini memburuk pada inspirasi dalam, gerakkan atau berbaring dan hilang dengan duduk tegak/membungkuk.
 Berikan lingkungan yang tenang dan tindakan kenyamanan misalnya ; perubahan posisi, gosokkan punggung, penggunaan kompres hangat/dingin, dukungan emosional.
R : tindakan ini dapat menurunkan ketidaknyamanan fisik dan emosional pasien.
 Berikan aktivitas hiburan yang tepat.
R : mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas individu.
 Kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai indikasi (agen nonsteroid : aspirin, indocin ; antipiretik ; steroid).
R : dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respons inflamasi, menurunkan demam ; steroid diberikan untuk gejala yang lebih berat.
 kolaborasi pemberian oksigen suplemen sesuai indikasi.
R : memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk menurunkan beban kerja jantung.

2. Intoleransi aktivitas
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : - perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.

Intervensi dan Implementasi :
 Kaji respons pasien terhadap aktivitas. Perhatikan adanya perubahan dan keluhan kelemahan, keletiahan, dan dispnea berkenaan dengan aktivitas.
R : miokarditis menyebabkan inflamasi dan kemungkinan kerusakan fungsi sel-sel miokardial.
 Pantau frekuensi/irama jantung, TD, dan frekuensi pernapasan sebelum dan setelah aktivitas dan selama diperlukan.
R : membantu menentukan derajat dekompensasi jantung dan pulmonal. Penurunan TD, takikardia, disritmia, dan takipnea adalah indikatif dari kerusakan toleransi jantung terhadap aktivitas.
 Pertahankan tirah baring selama periode demam dan sesuai indikasi.
R : meningkatkan resolusi inflamasi selama fase akut.
 Rencanakan perawatan dengan periode istirahat/tidur tanpa gangguan.
R : memberikan keseimbangan dalam kebutuhan dimana aktivitas bertumpu pada jantung.
 Bantu pasien dalam program latihan progresif bertahap sesegera mungkin untuk turun dari tempat tidur, mencatat respons tanda vital dan toleransi pasien pada peningkatan aktivitas.
R : saat inflamasi/kondisi dasar teratasi, pasien mungkin mampu melakukan aktivitas yang diinginkan, kecuali kerusakan miokard permanen/terjadi komplikasi.
 kolaborasi pemberian oksigen suplemen sesuai indikasi.
R : memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk menurunkan beban kerja jantung.

3. Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung
Tujuan : mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
Kriteria Hasil : - melaporkan/menunjukkan penurunan periode dispnea, angina, dan disritmia.
- memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil.
Intervensi dan Implementasi :
 Pantau frekuensi/irama jantung, TD, dan frekuensi pernapasan sebelum dan setelah aktivitas dan selama diperlukan.
R : membantu menentukan derajat dekompensasi jantung dan pulmonal. Penurunan TD, takikardia, disritmia, dan takipnea adalah indikatif dari kerusakan toleransi jantung terhadap aktivitas.
 Pertahankan tirah baring dalam posisi semi-Fowler.
R : menurunkan beban kerja jantung, memaksimalkan curah jantung.
 Auskultasi bunyi jantung. Perhatikan jarak/muffled tonus jantung, murmur, gallop S3 dan S4.
R : memberikan deteksi dini dari terjadinya komplikasi misalnya : GJK, tamponade jantung.
 Berikan tindakan kenyamanan misalnya ; perubahan posisi, gosokkan punggung, dan aktivitas hiburan dalam tolerransi jantung.
R : meningkatkan relaksasi dan mengarahkan kembali perhatian.

4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar)
Tujuan : menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.
Kriteria hasil : - mengidentifikasi efek samping obat dan kemungkinan komplikasi yang perlu diperhatikan.
- memperlihatan perubahan perilaku untuk mencegah komplikasi..
Intervensi dan Implementasi :
 Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar termasuk orang terdekat.
R : Perasaan sejahtera yang sudah lama dinikmati mempengaruhi minat pasien/orang terdekat untuk mempelajari penyakit.
 Jelaskan efek inflamasi pada jantung, secara individual pada pasien. Ajarakkn untuk memperhatikan gejala sehubungan dengan komplikasi/berulangnya dan gejala yang dilaporkan dengan segera pada pemberi perawatan, contoh ; demam, peningkatan nyeri dada yang tak biasanya, peningkatan berat badan, peningkatan toleransi terhadap aktivitas.
R : untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan sendiri, pasien perlu memahami penyebab khusus, pengobatan dan efek jangka panjang yang diharapkan dari kondisi inflamasi, sesuai dengan tanda/gejala yang menunjukan kekambuhan/komplikasi.

 Anjurkan pasien/orang terdekat tentang dosis, tujuan dan efek samping obat; kebutuhan diet ; pertimbangan khusus ; aktivitas yang diijinkan/dibatasi.
R : informasi perlu untuk meningkatkan perawatan diri, peningkatan keterlibatan pada program terapeutik, mencegah komplikasi.
 Kaji ulang perlunya antibiotic jangka panjang/terapy antimicrobial.
R : perawatan di rumah sakit lama/pemberian antibiotic IV/antimicrobial perlu sampai kultur darah negative/hasil darah lain menunjukkan tak ada infeksi.


D. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
1. Nyeri hilang atau terkontrol
2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
4. Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.


DAFTAR PUSTAKA


1. Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit, Jakarta.
2. Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.
3. DEPKES. 1993. Proses Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. EGC : Jakarta.
4. Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3. EGC : Jakarta.
5. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
6. FKUI. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. FKUI : Jakarta.
7. Griffith. 1994. Buku Pintar Kesehatan. Arcan : Jakarta.
8. Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.