Selasa, 16 Maret 2010

FARMAKOTERAPI PADA KLIEN DENGAN DECOMPENSATIO CORDIS

PENDAHULUAN





Gagal jantung ( decompensatio cordis ) merupakan keadaan patofisiologik yang sangat bervariasi dan kompleks, karena banyak penyakit yang dapat menimbulkannya, seperti hipertensi, diabetes mellitus, dan sebagainya.

Gagal jantung dan respon kompensatoriknya mengakibatkan kelainan pada tiga penentu utama dari fungsi miokardium, yaitu beban awal ( preload ), kontraktilitas dan beban akhir ( afterload ).

read more…….

1.1. Beban Awal

Beban awal adalah derajat peregangan serabut miokardium pada akhir pengisian ventrikel atau diastolik. Meningkatnya beban awal sampai titik tertentu memperbanyak tumpang tindih antara filament-filamen aktin dan miosin , sehingga kekuatan kontraksi dan curah jantung meningkat. Hubungan ini dinyatakan dengan Hukum Starling, yaitu peregangan serabut-serabut miokardium selama diastol akan meningkatkan kekuatan kontraksi pada sistol ( Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ).

Beban awal dapat meningkat dengan bertambahnya volume diastolik ventrikel, misalnya karena retensi cairan, sedangkan penurunan beban awal dapat terjadi pada diuresis. Secara fisiologis, peningkatan volume akan meningkatkan tekanan pada akhir diastol untuk menghasilkan perbaikan pada fungsi ventrikel dan curah jantung, namun pada ventrikel yang gagal, penambahan volume ventrikel tidak selalu disertai perbaikan fungsi ventrikel. Peningkatan tekanan yang berlebihan dapat mengakibatkan bendungan paru atau sistemik, edema akibat transudasi cairan dan mengurangi peningkatan lebih lanjut dari volume dan tekanan. Perubahan dalam volume intrakardia dan perubahan akhir pada tekanan bergantung pada kelenturan daya regang ruang-ruang jantung. Ruang jantung yang sangat besar, daya regangnya dapat menampung perubahan volume yang relative besar tanpa peningkatan tekanan yang bermakna. Sebaliknya, pada ruang

ventrikel yang gagal, yang kurang lentur, penambahan volume yang kecil dapat mengakibatkan peningkatan tekanan yang bermakna dan dapat berlanjut menjadi pembendungan dan edema ( Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ).



1.2. Kontraktilitas

Kontraktilitas menunjukkan perubahan-perubahan dalam kekuatan kontraksi atau keadaan inotropik yang terjadi bukan karena perubahan-perubahan dalam panjang serabut. Pemberian obat-obat inotropik positif seperti katekolamin atau digoksin, akan meningkatkan kontraktilitas, sedangkan hipoksia dan asidosis akan menekan kontraktilitas. Pada gagal jantung terjadi depresi dari kontraktilitas miokardium ( Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ).



1.3. Beban Akhir

beban akhir adalah besarnya tegangan dinding ventrikel yang harus dicapai untuk mengejeksikan darah sewaktu sistolik. Menurut Hukum Laplace , ada tiga variabel yang mempengaruhi tegangan dinding yaitu ukuran atau radius intraventrikel, tekanan sistolik ventrikel dan tebal dinding. Vasokonstriksi arteri yang meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel dapat meningkatkan tekanan sistolik ventrikel, sedangkan retensi cairan dapat meningkatkan radius intraventrikel. Pemberian vasodilator dan hipertrofi ventrikel sebagai konsekuensi lain dari gagal jantung dapat mengurangi beban akhir ( Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ).



2.1. Definisi Gagal Jantung

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik yang mana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan (Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ; Ignatavicius and Bayne, 1997 ).

Ciri-ciri yang penting dari definisi ini adalah definisi gagal relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh sedangkan penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan.

Gagal jantung kongestif adalah keadaan yang mana terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompensatoriknya (Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ; Ignatavicius and Bayne, 1997 ).

Gagal jantung kongestif perlu dibedakan dengan istilah gagal sirkulasi, yang menunjukkan ketidakmampuan dari sistem kardiovaskuler untuk melakukan perfusi jaringan dengan memadai.



2.2. Etiologi Gagal Jantung

Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis penyakit jantung kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium.

Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel, sedangkan stenosis aorta dan hipertensi sistemik akan meningkatkan beban akhir. Kontraktilitas miokardium dapat menurun karena infark miokardium dan kardiomiopati.

Selain dari ketiga mekanisme fisiologis tersebut, ada faktor-faktor fisiologis lain yang dapat juga mengakibatkan jantung gagal bekerja sebagai pompa, seperti stenosis katup atrioventrikularis dapat mengganggu pengisian ventrikel,

rditis konstriktif dan tamponade jantung dapat mengganggu pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel, sehingga menyebabkan gagal jantung.

Diperkirakan bahwa abnormalitas penghantaran kalsium di dalam sarkomer atau dalam sintesisnya atau fungsi dari protein kontraktil merupakan penyebab gangguan kontraktilitas miokardium yang dapat mengakibatkan gagal jantung.

Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : 1) aritmia, akan mengganggu fungsi mekanis jantung dengan mengubah rangsangan listrik yang memulai respon mekanis. Respon mekanis yang tersinkronisasi dan efektif tidak akan dihasilkan tanpa adanya ritme jantung yang stabil, 2) infeksi sistemik dan infeksi paru-paru. Respon tubuh terhadap infeksi akan memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan metabolisme yang meningkat, dan 3) emboli paru-paru, secara mendadak akan meningkatkan resistensi terhadap ejeksi ventrikel kanan, memicu terjadinya gagal jantung kanan.

Penanganan yang efektif terhadap gagal jantung membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme fisiologis dan penyakit yang mendasarinya, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal jantung (Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ; Ignatavicius and Bayne, 1997 ).



2.3. Patofisiologi Gagal Jantung

Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang menurun pada gagal jantung akan mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel, sehingga volume residu ventrikel menjadi meningkat akibat berkurangnya stroke volume yang diejeksikan oleh ventrikel kiri tersebut. Dengan meningkatnya EDV ( End Diastolic Volume ), maka terjadi pula peningkatan LVEDP ( Left Ventricle End Diastolic Pressure ), yang mana derajat peningkatannya bergantung pada kelenturan ventrikel. Oleh karena selama diastol atrium dan ventrikel berhubungan langsung, maka peningkatan LVEDP akan meningkatkan LAP ( Left Atrium Pressure ), sehingga tekanan kapiler dan vena paru-paru juga akan meningkat. Jika tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke interstitial dan bila cairan tersebut merembes ke dalam alveoli, terjadilah edema paru-paru.

Peningkatan tekanan vena paru yang kronis dapat meningkatkan tekanan arteri paru yang disebut dengan hipertensi pulmonari, yang mana hipertensi pulmonari akan meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Bila proses yang terjadi pada jantung kiri juga terjadi pada jantung kanan, akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema (Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ; Ignatavicius and Bayne, 1997 ).



2.4. Gambaran Klinik

Manifestasi klinis dari gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada permulaan, secara khas gejala-gejala hanya muncul pada latihan/aktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang ringan

Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association ( NYHA ) umum dipakai untuk menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik, yang mana klasifikasinya sebagai berikut :

Kelas I : tidak ada gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa

Kelas II : timbul gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa

Kelas III : timbul gejala sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan

Kelas IV : timbul gejala pada saat istirahat.

2.4.1. Tanda dan Gejala (Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ; Ignatavicius and Bayne, 1997 ).

Dispnea, atau perasaan sulit bernafas, adalah manifestasi yang paling umum dari gagal jantung. Dispnea disebabkan oleh peningkatan kerja pernafasan akibat kongesti vaskular paru-paru yang mengurangi kelenturan paru-paru. Meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea.

Dispnea saat beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea, atau dispnea pada posisi berbaring, terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral. Reabsorpsi dari cairan interstitial dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut. Dispnea nokturnal paroksismal (PND) atau mendadak terbangun karena dispnea, dipicu oleh perkembangan edema paru-paru interstitial. PND merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri daripada dispnea atau ortopnea. Asma kardial adalah mengi akibat bronkospasme dan terjadi pada waktu malam atau karena aktivitas fisik.

Batuk nonproduktif juga dapat terjadi sekunder dari kongesti paru-paru, terutama pada posisi berbaring. Terjadinya ronki akibat transudasi cairan paru-paru adalah ciri khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru sesuai pengaruh gaya gravitasi. Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial sekunder dari distensi vena. Distensi atrium atau vena pulmonalis dapat menyebabkan kompresi esophagus dan disfagia atau kesulitan menelan.

Gagal ke belakang pada sisi kanan jantung menimbulkan tanda dan gejala bendungan vena sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis (JVP), vena-vena leher meninggi dan terbendung. Tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan alir balik vena ke jantung selama inspirasi, yang dikenal sebagai tanda Kussmaul. Jika terjadi regurgitasi katup trikuspidalis, gelombang v pulsatil dapat terlihat pada vena jugularis. Uji refluks hepatojugularis yang positif dapat dibangkitkan dengan cara kompresi manual pada kuadran kanan atas abdomen yang menyebabkan peningkatan tekanan vena jugularis karena jantung kanan yang gagal tidak dapat mneyesuaikan dengan peningkatan alir balik vena. Hepatomegali, atau pembesaran hati dapat terjadi, nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula hati. Gejala-gejala saluran cerna lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual, dapat disebabkan oleh bendungan hati dan usus.

Edema perifer terjadi sekunder terhadap penimbunan cairan pada ruang-ruang interstitial. Edema mula-mula tampak pada daerah yang tergantung dan terutama pada malam hari, dapat terjadi nokturia atau diuresis malam hari, mengurangi retensi cairan. Nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring dan juga berkurangnya vasokonstriksi ginjal pada waktu istirahat. Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau anasarka atau edema seluruh tubuh. Semua manifestasi yang dijelaskan , secara khas diawali dengan bertambahnya berat badan, yang mencerminkan adanya retensi cairan dan natrium.

Gagal ke depan pada ventrikel kiri menimbulkan tanda-tanda berkurangnya perfusi ke organ-organ, karena darah dialihkan dari organ-organ nonvital demi mempertahankan perfusi ke jantung dan otak, maka manifestasi paling dini dari gagal jantung kiri adalah berkurangnya perfusi organ-organ seperti kulit dan otot rangka. Kulit yang pucat dan dingin diakibatkan oleh vasokonstriksi perifer, penurunan lebih lanjut dari curah jantung dan meningkatnya kadar hemoglobin tereduksi mengakibatkan sianosis. Vasokonstriksi kulit menghambat kemampuan tubuh untuk melepaskan panas, oleh karena itu demam ringan dan keringat yang berlebihan dapat ditemukan. Perfusi yang kurang pada otot-otot rangka menyebabkan kelemahan dan keletihan. Gejala-gejala ini dapat dieksaserbasi oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit atau anoreksia. Penurunan lebih lanjut dari curah jantung dapat disertai insomnia, kegelisahan atau kebingungan. Pada gagal jantung kronik yang berat, kehilangan berat badan yang progresif dapat terjadi.

Denyut jantung yang cepat atau takikardia, mencerminkan respons terhadap perangsangan saraf simpatik. Penurunan yang bermakna dari curah sekuncup dan adanya vasokonstriksi perifer mengurangi tekanan nadi, menghasilkan denyut nadi yang lemah atau thready pulse. Hipotensi sistolik ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat. Pada gagal jantung kiri yang berat dapat timbul pulsus alternans, yang menunjukkan gangguan fungsi mekanis yang berat dengan berulangnya variasi denyut ke denyut pada curah sekuncup.

Pada auskultasi dada selain ronki, ditemukan juga bunyi gallop vemtrikel atau S3. terdengarnya S3 pada auskultasi merupakan ciri khas dari gagal ventrikel kiri. Gallop ventrikel terjadi selama diastolik awal dan disebabkan oleh pengisian cepat pada ventrikel yang tidak lentur atau yang terdistensi. Terangkatnya sternum pada waktu sistolik dapat disebabkan oleh pembesaran ventrikel kanan.

Pada pemeriksaan foto toraks didapatkan adanya : 1) kongesti vena paru-paru, berkembang menjadi edema interstitial atau alveolar pada gagal jantung yang lebih berat, 2) redistribusi vaskular pada lobus atas paru-paru, dan 3) kardiomegali.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan perubahan yang khas pada kimia darah, seperti adanya hiponatremia, sedangkan kadar kalium dapat normal atau menurun sekunder terhadap terapi diuretik. Hiperkalemia dapat terjadi pada tahap lanjut dari gagal jantung karena gangguan ginjal. Kadar nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin dapat meningkat sekunder terhadap perubahan laju filtrasi glomerulus. Urin menjadi lebih pekat dengan berat jenis yang tinggi dan kadar natriumnya berkurang. Kelainan pada fungsi hati dapat mengakibatkan pemanjangan masa protrombin yang ringan. Dapat pula terjadi peningkatan bilirubin dan enzim-enzim hati, aspartat aminotransferase (AST) dan fosfatase alkali serum, terutama pada gagal jantung yang akut.



2.5. Penanganan Gagal Jantung

Strategi penanganan gagal jantung kongestif kronik pada orang dewasa menurut kelas fungsional NYHA menitikberatkan pada pengurangan kerja jantung, pengurangan beban awal, peningkatan kontraktilitas dan pengurangan beban akhir.



2.5.1. Pengurangan Kerja Jantung

Pembatasan aktivitas fisik yang ketat merupakan tindakan awal yang sederhana namun sangat tepat dalam penanganan gaagal jantung. Tetapi harus diperhatikan jangan sampai memaksakan larangan yang tak perlu untuk menghindari kelemahan otot-otot rangka. Telah diketahui bahwa kelemahan otot rangka dapat mengakibatkan intoleransi terhadap latihan fisik. Tirah baring dan aktivitas yang terbatas juga dapat menyebabkan flebotrombosis. Pemberian antikoagulansia mungkin diperlukan pada pembatasan aktivitas yang ketat untuk mengendalikan gejala.



2.5.2. Pengurangan Beban Awal

Pembatasan garam dalam makanan mengurangi beban awal dengan menurunkan retensi cairan. Jika gejala-gejala menetap dengan pembatasan garam yang sedang, maka diperlukan pemberian diuretik oral untuk mengatasi retensi natrium dan air. Biasanya diberikan rejimen diuretik maksimum sebelum dilakukan pembatasan asupan natrium yang ketat. Diet yang tidak mempunyai rasa dapat menurunkan nafsu makan dan gizi yang buruk.

Vasodilatasi dari anyaman vena dapat menurunkan beban awal melalui redistribusi darah dari sentral ke sirkulasi perifer. Venodilatasi menyebabkan mengalirnya darah ke perifer dan mengurangi alir balik vena ke jantung. Pada situasi yang ekstrim, pengeluaran cairan melalui hemodialisis mungkin diperlukan untuk menunjang fungsi miokardium.



2.5.3. Peningkatan Kontraktilitas

Obat-obat inotropik meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium. Dua golongan obat inotropik yang dapat dipakai adalah glikosida digitalis dan obat nonglikosida. Obat-obat inotropik juga memperbaiki fungsi ventrikel dengan menggeser seluruh kurva fungsi ventrikel kiri ke atas dan ke kiri, sehingga curah jantung lebih besar pada volume dan tekanan akhir diastolik tertentu. Peningkatan aliran ke depan mengakibatkan penurunan dalam volume ventrikel residu (EDV). Dengan menurunnya EDV, titik optimal padaa kurva fungsi ventrikel akan dicapai, yang mana gejala-gejala mereda dan curah jantung dipertahankan.



2.5.4. Pengurangan Beban Akhir

Dua respons kompensatorik terhadap gagal jantung yaitu aktivasi sistem saraf simpatik dan sistem renin-angiotensin-aldosteron, menghasilkan vasokonstriksi dan selanjutnya meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel dan beban akhir. Dengan meningkatnya beban akhir, kerja jantung bertambah dan curah jantung menurun. Vasodilator arteria akan menekan efek-efek negatif tersebut. Vasodilator yang umum dipakai mengakibatkan dilatasi anyaman vaskular melalui dua cara, yaitu dilatasi langsung dari otot polos pembuluh darah atau menghambat enzim konversi angiotensin..

Vasodilator arteria mengurangi tahanan terhadap ejeksi ventrikel. Akibatnya ejeksi ventrikel dapat lebih mudah dan lebih sempurna. Dengan kata lain, beban jantung berkurang dan curah jantung meningkat. Dengan penanganan yang optimal, tekanan arteria biasanya tidak turun secara bermakna, karena peningkatan curah jantung menghilangkan kemungkinan penurunan tekanan yang biasanya timbul jika pasien hanya diberikan vasodilator saja.

Penghambat enzim konversi angiotensin termasuk kaptopril, menghambat konversi angiotensin menjadi angiotensin II. Efek ini mencegah vasokonstriksi yang diinduksi angiotensin dan juga menghambat produksi aldosteron dan retensi cairan. Penghambat enzim konversi angiotensin memberikan harapan besar dalam penanganan gagal jantung. Akibatnya, terapi vasodilator oral kini diberikan lebih awal, yaitu untuk gagal jantung NYHA kelas II dan bukannya pada kelas III atau IV.



FARMAKOTERAPI PADA GAGAL JANTUNG Dengan PENDEKATAN PROSES KEPERAWATAN

Tujuan utama pengobatan gagal jantung adalah mengurangi gejala akibat bendungan sirkulasi, memperbaiki kapasitas kerja dan kualitas hidup serta memperpanjang harapan hidup. Untuk itu, pendekatan awal adalah memperbaiki berbagai gangguan yang mampu untuk menghilangkan beban kardiovaskular yang berlebihan, seperti mengobati hipertensi, mengobati anemia, mengurangi berat badan atau memperbaiki stenosis aorta. Gagal jantung yang tetap bergejala walaupun penyakit yang mendasarinya telah diobati, memerlukan pembatasan aktivitas fisik, pembatasan asupan garam dan obat .

Kebanyakan pasien gagal jantung memperlihatkan gangguan fungsi sistolik, sehingga farmakoterapi dimaksudkan untuk tujuan : 1) menghilangkan gejala bendungan sirkulasi dengan memperbaiki kontraktilitas miokard, 2) mengurangi beban pengisian ventrikel ( preload) dan menurunkan tahanan perifer. Obat-obat utama untuk tujuan tersebut adalah glikosida digitalis dan zat inotropik lain untuk memperbaiki kontraktilitas, diuretik untuk mengurangi preload dan pada akhirnya juga afterload, serta vasodilator untuk mengurangi tahanan perifer.

Digitalis semula merupakan obat yang selalu diberikan pada klien gagal jantung, tetapi ternyata efektivitas diuretik pada gagal jantung sama dengan digitalis, terutama pada klien dengan edema sebagai gejala utama gagal jantung, sehingga pada strategi pengobatan gagal jantung pilihan pertama adalah pemberian diuretik ( Muchtar,A dan Z.S.Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).



3.1. Diuretik

Pada gagal jantung, berkurangnya volume darah arterial menyebabkan ginjal menahan air dan garam. Akibatnya sistem renin-angiotensin-aldosteron dipacu untuk membentuk angiotensin II yang merangsang sekresi aldosteron. Aldosteron

12

13



menambah retensi natrium disertai pembuangan kalium, sehingga terjadi retensi cairan. Pemberian diuretik akan memacu ekskresi NaCl dan air sehingga preload berkurang dan gejala bendungan paru dan bendungan sistemik berkurang. Diuretik juga mengurangi volume ventrikel kiri dan tegangan dindingnya sehingga resistensi perifer menurun. Pada gagal jantung kronik yang ringan dengan irama sinus, diuretik merupakan pilihan pertama, sedangkan gagal jantung yang lebih berat, penggunaan diuretik harus lebih hati-hati dan pengaruhnya terhadap gangguan elektrolit yang telah ada sebelumnya harus dipertimbangkan.

Pada fungsi ginjal yang normal, tiazid adalah obat terpilih untuk gagal jantung. Golongan obat ini meningkatkan ekskresi Na+ dan Cl- melalui urin. Secara sekunder terjadi pengeluaran K+ yang akan membahayakan pasien yang juga mendapat digitalis, karena itu pasien demikian perlu dilakukan pengukuran kadar elektrolit secara berkala. Hipokalemia yang timbul oleh tiazid dapat diatasi dengan tambahan K+ atau dengan pemberian diuretik hemat kalium.

Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal ( laju filtrasi glomerulus < 30 ml/menit ) atau pasien yang edemanya menetap biasanya diberikan diuretik kuat seperti furosemid. Penggunaan diuretik yang berlebihan harus dihindari sebab hipovolemik yang diakibatkannya akan mengurangi curah jantung, mengganggu fungsi ginjal dan menyebabkan kelemahan umum. Selain itu diuretik yang berlebihan dapat menyebabkan pula edema yang refrakter. Pada keadaan demikian diuretik sebaiknya diberikan secara berselang untuk mempertahankan bebas edema.

3.1.1. Diuretik tiazid dan seperti-tiazid

Tiazid yang pertama kali dipasarkan adalah klorotiazid (1957) diikuti satu tahun kemudian oleh hidroklorotiazid. Saat ini terdapat berbagai macam preparat tiazid dan seperti-tiazid. Tiazid bekerja pada tubulus kontortus distal ginjal, sesudah ansa Henle, dengan meningkatkan ekskresi natrium, klor dan air. Tiazid dipakai untuk mengobati hipertensi dan edema perifer. Obat-obat ini tidak efektif untuk diuretik cepat ( Kee and Hayes, 1996 ).14

a. Pengkajian Keperawatan

Sebelum memberikan tiazid pada klien dengan hipertensi , perlu dikaji dulu fungsi ginjal klien, meliputi intake dan output urin, peningkatan nitrogen urea darah dan peningkatan kreatinin darah, karena klien dengan gagal ginjal tidak boleh diberi tiazid. Selain itu dikaji juga apakah klien mendapat terapi lain seperti digitalis, litium dan obat antihipertensi lain. Tiazid dapat menyebabkan

hipokalemia , yang menguatkan kerja digoksin , dan bisa terjadi keracunan digitalis . Pada pemberian suplemen kalium , kadar kalium harus sering dipantau. Tanda dan gejala dari keracunan digitalis, seperti bradikardia, mual, muntah dan perubahan penglihatan, harus segera dilaporkan. Tiazid juga menguatkan kerja litium, dan dapat terjadi keracunan litium. Tiazid memperkuat kerja obat-obat antihipertensi lainnya, yang mungkin dipakai secara kombinasi ( Kee and Hayes, 1996; DiPiro, 1999; Katzung, 2001).

b. Intervensi Keperawatan

Berikan tiazid pada pagi hari untuk menghindari nokturia, karena tiazid diabsorpsi dengan baik dalam traktus gastrointestinal (TGI). Hidroklorotiazid memiliki ikatan protein yang lebih lemah dibandingkan dengan furosemid (diuretik kuat). Waktu paruh tiazid lebih panjang daripada diuretik kuat.

Observasi dan catat tekanan darah serta nadi klien secara periodik karena tiazid bekerja langsung pada arteriol , menyebabkan vasodilatasi , sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Awal kerja dari hidrotiazid timbul dalam waktu 2 jam , dan untuk furosemid dalam waktu 1 jam. Konsentrasi puncak berbeda – beda . Tiazid terbagi atas tiga kelompok sesuai dengan lama kerjanya : (1)tiazid kerja pendek memiliki lama kerja kurang dari 12jam; (2) tiazid kerja menengah lama kerjanya antara 12-24 jam ; dan (3) yang bekerja lama memiliki lama kerja lebih dari 24 jam . Furosemid adalah diuretik yang lebih poten daripada tiazid, bekerja dengan cepat dan memiliki lama kerja yang lebih pendek , dan diekskresi lebih cepat ( Kee and Hayes, 1996 ).

Anjurkan klien diabetik yang memakai diuretik tiazid untuk mengukur gula darahnya. Usahakan agar klien memiliki daftar hasil pemeriksaan gula darahnya secara periodik.

c. Evaluasi Keperawatan

Efek samping dan reaksi yang merugikan dari tiazid adalah ketidakseimbangan elektrolit ( hipokalemia , hipokalsemia , hipomagnesemia , dan kehilangan bikarbonat), hiperglikemia (gula darah meningkat), hiperuresemia

( kadar asam urat serum meningkat ), dan hiperlipidemia ( kadar lemak darah meningkat ) . Tanda-tanda dan gejala-gejala dari hipokalemia harus di kaji , dan kadar kalium serum harus diawasi dengan ketat . Sering kali diperlukan obat suplemen kalium .

Kadar asam urat dan kalium dalam serum harus diperiksa karena tiazid menghambat ekskresi kalium dan asam urat ; bisa terjadi hiperkalsemia (peningkatan kadar kalsium darah) dan hiperurisemia . Tiazid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, dan bisa terjadi hiperglikemia , terutama pada klien yang mempunyai kadar darah tinggi atau di atas batas normal . Tiazid dapat meningkatkan kolesterol serum , lipoprotein berdensitas rendah , dan kadar trigliserida . Mungkin perlu di berikan obat untuk menurunkan kadar lemak darah. Efek samping lain mencakup pusing, sakit kepala , mual, muntah, konstipasi , urtikaria , dan diskrasia darah ( jarang) ( Kee and Hayes, 1996 ).



3.1.2. Diuretik Kuat (loop/high-ceiling)

Diuretik kuat, bekerja pada ansa Henle dengan menghambat transport klorida terhadap natrium ke dalam sirkulasi ( menghambat reabsorpsi natrium pasif ).

Garam natrium dan air akan keluar bersama dengan kalium, kalsium dan magnesium. Obat-obat ini hanya memiliki sedikit efek terhadap gula darah, tetapi kadar asam urat meningkat. Obat-obat golongan ini sangat poten dan menyebabkan penurunan jumlah air dan elektrolit dalam jumlah besar. Efek dari diuretik kuat berkorelasi dengan dosis, yaitu dengan meningkatkan dosis efek maka respons obat ini juga meningkat. Diuretik kuat lebih berpotensi menghambat resorpsi natrium dua sampai tiga kali lebih efektif daripada tiazid, tetapi efektivitasnya untuk antihipertensi berkurang. Asam etakrinik (Edecrin, akhir 1950-an) dan furosemid (Lasix, 1960) merupakan diuretik pertama yang dipasarkan. Bumetanide (Bumix), diuretik kuat yang terbaru, lebih poten dari furosemid ( Kee and Hayes, 1996 ; Katzung, 2001 ).

a. Pengkajian Keperawatan

Kaji penggunaan digitalis dan kadar kalium darah, karena interaksi obat yang paling utama adalah dengan preparat digitalis. Jika klien memakai digoksin dengan diuretik kuat, bisa terjadi keracunan digitalis. Klien ini memerlukan kalium tambahan melalui makanan atau obat. Hipokalemia memperkuat kerja digoksin dan meningkatkan risiko keracunan digitalis.

b. Intervensi Keperawatan

Diuretik kuat merupakan obat yang cepat diabsorpsi di saluran pencernaan.

Obat-obat ini merupakan obat yang berikatan dengan protein sangat tinggi dengan waktu paruh yang bervariasi dari 30 menit sampai 1,5 jam. Diuretik kuat berlomba untuk mendapatkan tempat ikatan protein dengan obat-obat yang berikatan dengan protein sangat tinggi lain.

Diuretik kuat mempunyai efek yang besar untuk menghilangkan natrium dan dapat menyebabkan diuresis cepat. Waktu kerja awal dari diuretik terjadi setelah 30 – 60 menit. Awal kerja bentuk furosemid intravena adalah 5 menit, lebih pendek dari tiazid.

Berikan penjelasan pada klien dan/atau keluarga untuk mempertahankan nutrisi yang baik dan kurangi konsumsi garam, tetapi tingkatkan makanan yang kaya kalium seperti buah-buahan, sayur-sayuran, kacang, daging dan ikan, karena diuretik kuat tidak menghemat kalium ( Kee and Hayes, 1996 ).

Anjurkan klien untuk bangun dari posisi tidur ke duduk atau dari posisi duduk ke berdiri secara perlahan-lahan untuk mencegah efek hipotensi ortostatik.

Ajarkan klien cara memantau nadi dan beritahu klien untuk memantau nadinya jika minum diuretik dan digitalis. Jelaskan tanda-tanda keracunan digitalis dan segera lapor pada perawat atau dokter yang bertugas.

c. Evaluasi Keperawatan

Efek samping yang paling sering dijumpai adalah ketidakseimbangan elektrolit dan cairan, seperti hipokalsemia dan hipokloremia. Pantau intake dan output serta kadar elektrolit darah. Observasi tekanan darah dalam berbagai posisi ( berbaring, duduk dan berdiri, lalu bandingkan, karena hipotensi ortostatik dapat timbul. Trombositopenia, gangguan kulit dan tuli, sementara jarang terlihat ( Kee and Hayes, 1996; DiPiro, 1999 ).



3.1.3. Diuretik Hemat Kalium

Diuretik hemat kalium, lebih lemah dari tiazid dan diuretik kuat, dipakai untuk diuretik ringan atau dalam kombinasi dengan obat antihipertensi. Obat-obat ini bekerja pada tubulus distal ginjal untuk meningkatkan ekskresi natrium dan air serta kalium. Obat ini mengganggu pompa natrium-kalium yang dikontrol oleh hormon aldosteron (natrium ditahan dan kalium diekskresi), sehingga kalium direabsorpsi dan natrium diekskresi. Ada kombinasi diuretik hemat kalium dan yang tidak menahan kalium yaitu triamteren hidroklorotiazid (Dyazide) dan spironolakton hidroklorotiazid (Aldactazide), yang memiliki efek diuretik yang telah diperkuat dan memiliki sifat hemat kalium.

Spironolakton (Aldactone), suatu antagonis aldosteron yang ditemukan pada tahun 1958, adalah diuretik hemat kalium pertama. Aldosteron adalah hormon mineralokortikoid yang meningkatkan retensi natrium dan ekskresi kalium. Antagonis aldosteron menghambat pompa natrium-kalium, sehingga kalium ditahan dan natrium diekskresi. Amiloride dan triamterene adalah dua diuretik hemat kalium tambahan yang sering digunakan saat ini. Jika diuretik kombinasi yang dipakai, baik yang dikombinasikan dalam satu tablet atau yang diminum

dalam tablet-tablet terpisah, dosis masing-masing biasanya lebih rendah dari dosis obat ini bila dipakai tersendiri ( Kee and Hayes, 1996 ).



a. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian utama adalah melakukan pemeriksaan kadar elektrolit darah, terutama kalium dan fungsi ginjal karena efek samping utama dari obat-obat ini adalah hiperkalemia. Hati-hati dalam memberikan obat ini pada klien yang fungsi ginjalnya buruk, karena 80-90% dari kalium diekskresikan olah ginjal. Urin harus sekurang-kurangnya 600 ml sehari, jadi pemantauan intake dan output klien juga harus diperhatikan. Klien tidak boleh menggunakan tambahan kalium jika meminum obat diuretik hemat kalium , kecuali jika kadar kalium dalam serum sangat rendah. Pemantauan kadar kalium serum sangat perlu. Gangguan gastrointestinal dapat terjadi (Kee and Hayes, 1996 ).

b. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan diprioritaskan pada pemantauan tanda vital , terutama tekanan darah dan nadi. Diuretik dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan jika volume cairan menurun banyak, denyut jantung akan meningkat untuk mengkompensasi kehilangan cairan.

Perhatikan asupan cairan dan pantau haluaran urin, karena diuretik meningkatkan haluaran urin . Penurunan jumlah urin sewaktu klien sedang memakai diuretik mungkin disebabkan oleh kurang minum atau adanya insufisiensi ginjal.

Pantau berat badan klien setiap pagi dengan menggunakan pakaian dan

timbangan yang sama.

Lakukan pemeriksaan elektrokardiografi untuk mengetahui adanya hipokalemia atau hiperkalemia ( Ignatavicius and Bayne, 1991; Kee and Hayes, 1996 ).

c. Evaluasi Keperawatan

Lakukan evaluasi terhadap efektivitas diuretik dengan mencatat apakah edema perifer berkurang, auskultasi suara paru apakah bersih dan apakah terjadi penurunan berat badan ( Kee and Hayes, 1996 ).



3.2. Vasodilator

Vasodilator yang bekerja langsung adalah obat tahap III yang bekerja dengan merelaksasikan otot-otot polos dari pembuluh darah, terutama arteri, sehingga menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi, tekanan darah akan turun dan natrium serta air tertahan, sehingga terjadi edema perifer. Diuretik dapat diberikan bersama-sama dengan vasodilator yang bekerja langsung untuk mengurangi edema. Refleks takikardia timbul disebabkan oleh vasodilatasi dan menurunnya tekanan darah. Penghambat beta sering diberikan bersama-sama dengan vasodilator arteriola untuk menurunkan denyut jantung, hal ini melawan refleks takikardia. Dua dari vasodilator yang bekerja langsung, hidralazin dan minoksidil, dipakai untuk pengobatan hipertensi yang sedang dan berat. Nitroprusid dan diazoksid digunakan untuk mengatasi hipertensi akut yang darurat. Kedua obat ini merupakan vasodilator kuat yang dengan cepat menurunkan tekanan darah. Nitroprusid bekerja pada pembuluh darah arteri dan vena, sedangkan diazoksid bekerja pada pembuluh darah arteri ( Kee and Hayes,

1996 ; Katzung, 2001 ).

Penghambat alfa1 (alfa1- blocker) menghambat reseptor alfa1 di pembuluh darah terhadap efek vasokonstriksi norepinefrin dan epinefrin sehingga terjadi dilatasi arteriol dan vena. Dilatasi arteriol menurunkan resistensi perifer, sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Akibatnya terjadi refleks takikardia tetapi hanya sedikit dan denyut jantung menurun kembali setelah pemberian kronik. Venodilatasi mengurangi alir balik vena. Hambatan venokonstriksi dapat menyebabkan hipotensi ortostatik yang dapat menjadi simtomatik, terutama pada

pemberian dosis awal.

Hanya penghambat alfa yang selektif memblok adrenoseptor alfa1, yang berguna untuk pengobatan gagal jantung, lebih-lebih yang berhubungan dengan hipertensi, penyakit jantung iskemik, insufisiensi mitral atau aorta dan kardiomiopati yang menyebabkan bendungan. Penghambat alfa yang nonselektif juga menghambat adrenoseptor alfa2 di ujung saraf adrenergic sehingga meningkatkan penglepasan norepinefrin. Efek norepinefrin di jantung tidak dihambat, sehingga terjadi perangsangan jantung yang berlebihan (efek langsung maupun tidak langsung melalui refleks simpatis akibat vasodilatasi perifer). Hal ini menyebabkan penghambat alfa yang nonselektif kurang efektif sebagai obat gagal jantung yang disebabkan oleh hipertensi. Penghambat alfa1 yang tersedia sebagai antihipertensi saat ini adalah prazosin, terazosin, doksazosin,dan bunazosin.

Penghambat alfa merupakan satu-satunya golongan antihipertensi yang memberikan efek positif terhadap lipid darah (menurunkan kolesterol LDL dan trigliserida, dan meningkatkan kolesterol HDL). Penghambat alfa juga dapat menurunkan resistensi insulin (disamping penghambat ACE), mengurangi gangguan vaskular perifer, memberikan sedikit efek bronkodilatasi dan mengurangi serangan asma akibat latihan fisik, merelaksasi otot polos prostat dan leher kandung kemih sehingga mengurangi gejala-gejala hipertrofi prostat, tidak mengganggu aktivitas fisik, dan tidak berinteraksi dengan AINS. Karena itu penghambat alfa dianjurkan penggunaannya pada klien hipertensi yang disertai diabetes, dislipidemia, obesitas, gangguan resistensi perifer, asma, hipertrofi prostat, dan perokok. Dapat juga dianjurkan untuk klien muda yang aktif secara fisik dan mereka yang menggunakan AINS ( A. Setiawati dan Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).

a. Pengkajian Keperawatan

Kaji apakah klien minum obat-obat antiinflamasi dan nitrat, karena interaksi obat akan timbul ketika penghambat alfa diminum bersama obat-obat antiinflamasi dan nitrat (nitrogliserin) untuk angina.

Kaji pula apakah klien mengalami edema perifer, karena edema perifer diperberat jika prazosin dan obat antiinflamasi dipakai setiap hari. Nitrogliserin yang diberikan untuk angina akan menurunkan tekanan darah, dan jika diberikan dengan prazosin, klien dapat mengalami sinkop karena penurunan tekanan darah (Kee and Hayes, 1996 ).

Efek hidralazin banyak mencakup takikardia, palpitasi, edema, kongesti hidung, sakit kepala, pusing, perdarahan saluran cerna, gejala-gejala seperti lupus dan gejala-gejala neurologik (kesemutan, baal, dll).

Minoksidil memiliki efek samping yang serupa, berupa takikardia, edema dan pertumbuhan rambut yang berlebihan. Dapat menyebabkan serangan angina.

Nitroprusid dan diazoksid dapat menyebabkan refleks takikardia, palpitasi, kegelisahan, agitasi, mual dan bingung. Hiperglikemia akan timbul pada pemberian diazoksid karena obat ini menghambat pelepasan insulin dari sel-sel beta pankreas ( Kee and Hayes, 1996 ).

b. Intervensi Keperawatan

Prazosin diabsorpsi melalui saluran cerna, tetapi sebagian besar akan hilang selama metabolisme lintas pertama di hati. Waktu paruh obat ini singkat, sehingga sering diberikan dua kali sehari. Prazosin sangat mudah berikatan dengan protein, dan jika diberikan bersama obat lain, yang juga sangat mudah berikatan dengan protein, klien harus diperiksa terhadap timbulnya reaksi yang merugikan.

Penghambat alfa selektif mendilatasi arteriola dan venula , menurunkan tahanan perifer dan tekanan darah, efeknya lebih jelas pada kerja fisik ketimbang pada istirahat. Pada prazosin, denyut jantung hanya sedikit bertambah. Penghambat alfa lebih efektif untuk mengobati hipertensi akut dan penghambat alfa selektif lebih berguna untuk hipertensi esensial jangka panjang. Mula kerja dari prazosin terjadi antara 30 menit sampai 2 jam (Kee and Hayes, 1996; Muchtar, A dan Z.S. Bustami, 2002 ).

c. Evaluasi Keperawatan

Efek samping meliputi hipotensi ortostatik (pusing, rasa ingin pingsan, kepala ringan, peningkatan denyut jantung) yang sering muncul dalam pengobatan hipertensi jarang tampak pada pengobatan gagal jantung. Mual, rasa mengantuk, kongesti hidung karena vasodilatasi, edema dan kenaikan berat badan harus dievaluasi pada pemberian prazosin, doksazosin dan terazosin. Toleransi secara dikurangi dengan : a) menambahkan diuretik, b) meningkatkan dosis prazosin atau c) mengganti dengan vasodilator lain ( Kee and Hayes, 1996 ; Muchtar, A dan Z.S. Bustami, 2002 ).



3.3. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (penghambat ACE)

Kaptopril adalah penghambat ACE yang pertama ditemukan. Sejak itu telah dikembangkan banyak penghambat ACE lain dan yang telah resmi beredar di Indonesia adalah enalapril, lisinopril, kuinapril, perindopril, ramipril, silazapril, benazepril, dan fosinopril

Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA) : renin disekresi oleh sel jukstaglomerulus di dinding arteriol aferen dan glomerulus ke dalam darah bila perfusi ginjal menurun (akibat menurunnya TD atau adanya stenosis pada arteri ginjal), bila terdapat deplesi natrium (penurunan kadar natrium dalam tubuli ginjal), dan/atau bila terdapat stimulasi adrenergik (melalui reseptor beta1).

Renin, yang merupakan enzim proteolitik, akan memecah angiotensin, suatu

alfa globulin yang disintesis dalam hati dan beredar dalam darah, menjadi angiotensin 1 (A1). A1 yang relatif tidak aktif akan dikonversi dengan cepat sekali oleh ACE yang terikat pada membran sel endotel yang menghadap ke lumen di seluruh sistem vaskuler, menjadi angiotensin II (AII) yang sangat aktif. AII bekerja pada reseptor di otot polos vaskuler, korteks adrenal, jantung dan SSP untuk menimbulkan konstriksi arteriol dan venula (efek pada arteriol lebih kuat), stimulasi sintesis dan sekresi aldosteron, stimulasi jantung dan sistem simpatis, dan efek di SSP berupa stimulasi konsumsi air dan peningkatan sekresi ADH. Akibatnya terjadi peningkatan resistensi perifer, reabsorpsi natrium dan air, serta peningkatan denyut jantung dan curah jantung. Peningkatan TD ini mengaktifkan mekanisme umpan balik yang mengurangi sekresi renin.

ACE juga adalah enzim kininase II yang menginaktifkan bradikinin. Bradikinin merupakan vasodilator arteriol sistemik yang poten, kerjanya melalui produksi EDRF (endothelial-derived relaxing factor) dan prostaglandin oleh sel-sel endotel vaskuler.

Sistem RAA tidak berperan aktif dalam mempertahankan homeostasis TD pada subyek dengan volume darah dan kadar natrium yang normal, tetapi berperan penting dalam mempertahankan TD dan volume intravaskuler sewaktu terdapat deplesi natrium dan cairan.

a. Pengkajian Keperawatan

Kaji fungsi ginjal dan kadar elektrolit serum serta tekanan darah klien. Pada pemberian dosis pertama akan timbul hipotensi simtomatik yang berat. Gagal

ginjal reversibel dapat terjadi pada klien dengan stenosis arteri ginjal pada kedua ginjal. Bila pada klien dengan gangguan fungsi ginjal diberikan kaptopril, risiko hiperkalemia meningkat ( A. Setiawati dan Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).

b. Intervensi Keperawatan

Bioavailabilitas kaptopril oral 60-65% dan berkurang bila diberikan bersama makanan, maka obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan. Ikatan dengan

protein plasma sekitar 30%. Waktu paruh eliminasinya sekitar 2,2 jam. Ekskresi utuh dalam urin terjadi 40% dari dosis yang availabel, maka pada gangguan ginjal dosis obat harus dikurangi ( A. Setiawati dan Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).

Penghambat ACE mengurangi pembentukan AII, sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron yang menyebabkan terjadinya ekskresi natrium dan air, serta retensi kalium. Akibatnya terjadi penurunan TD pada klien hipertensi esensial maupun hipertensi renovaskuler. Penurunan TD sekitar 10/5 sampai 15/12 mmHg ( DiPiro, 1999 ; A. Setiawati dan Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).

Penurunan TD oleh penghambat ACE disertai dengan penurunan resistensi perifer, tanpa disertai refleks takikardia. Penghambat ACE juga mengurangi tonus vena. Hambatan inaktivasi bradikinin oleh penghambat ACE meningkatkan bradikinin dan prostaglandin vasodilator sehingga meningkatkan vasodilatasi akibat hambatan pembentukan AII ( DiPiro, 1999 ; A. Setiawati dan Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).

Penghambat ACE mempunyai kurva dosis-respons yang relatif curam pada kisaran dosis rendah dan menjadi relatif rata pada kisaran dosis tinggi. Diuretik atau diet rendah garam merangsang sekresi renin dan mengaktifkan sistem RAA sehingga memberikan efek sinergistik dengan penghambat ACE. ( A. Setiawati dan Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).

c. Evaluasi Keperawatan

Batuk kering merupakan efek samping yang paling sering terjadi (10-20%), lebih sering pada wanita dan pada malam hari serta sifatnya reversibel. Efek samping lain berupa rash dan gangguan pengecap, namun bila digunakan dosis rendah (<150 mg/hr) gejala rash dan gangguan pengecap tidak ada ( A. Setiawati dan Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).



3.4.. Digitalis

Digitalis merupakan glikosida yang terdiri atas steroid, cincin lakton, dan beberapa molekul heksosa. Gabungan steroid dengan cincin lakton dinamai aglikon (genin) yang merupakan gugus aktif, sedangkan gugus 1-4 gugus gula yang terikat pada aglikon menentukan kelarutan glikosida tersebut dalam air dan lemak.

Sifat farmakodinamik utama digitalis adalah inotropik positif, yaitu meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium. Digitalis juga menyebabkan perlambatan denyut ventrikel pada fibrilasi dan fluter atrium serta pada kadar toksik menimbulkan disritmia. Efektivitas digitalis pada gagal jantung kongestif timbul karena kerja langsungnya dalam meningkatkan kontraksi miokardium.

Digitalis juga bekerja langsung pada otot polos pembuluh darah, selain itu efeknya pada jaringan saraf mempengaruhi secara tidak langsung aktivitas mekanik dan listrik jantung serta resistensi dari daya tampung pembuluh darah. Perubahan dalam sirkulasi akibat digitalis sering diikuti oleh perubahan refleks pada aktivitas otonom dan keseimbangan hormonal yang secara tidak langsung berpengaruh baik terhadap fungsi kardiovaskuler ( Muchtar, A dan Z.S.Bustami, 2002 ).



a. Pengkajian

Kaji waktu makan dan kondisi saluran cerna klien karena penyerapan digoksin dihambat oleh adanya makanan dalam saluran cerna, melambatnya pengosongan lambung dan sindrom malabsorpsi.

Kaji penggunaan obat-obat yang dapat mengurangi absorpsi seperti kolesteramin, kolestipol, kaolin, pektin karbon aktif, neomisin, siklosfosfamid, vinkristin dan laksans.

Kaji kadar protein plasma, 25% digoksin terikat pada protein plasma sedangkan digitoksin lebih dari 95%. Kaji juga fungsi ginjal, fungsi hati, kadar elektrolit terutama kadar kalium dan periksa ECG ( Kee & Hayes, 1996 ; Muchtar,A dan Z.S.Bustami, 2002).

b. Intervensi Keperawatan

Anjurkan agar setiap dokter menggunakan satu macam sediaan yang sudah dikenalnya secara tetap atau menuliskan nama pabrik pembuatnya bila obat diresepkan berdasarkan nama generik, sebab terdapat perbedaan bioavailabilitas antar obat dari pabrik yang berbeda. Perbedaan bioavailabilitas terjadi karena perbedaan kecepatan dan derajat disolusi.

Kadar puncak digoksin dalam plasma dicapai dalam waktu 2-3 jam setelah pemberian peroral dengan efek maksimal selama 4-6 jam. Bila digoksin tidak diberikan dalam loading dose diperlukan waktu sampai 1 minggu untuk mencapai kadar steady state dalam plasma, karena waktu paruh obat dalam tubuh adalah antara 1-2 hari. Penyerapan digitoksin lebih sempurna karena digitoksin lebih larut dalam lemak, maka dosis intravena diasumsikan sama dengan dosis oral.

Distribusi glikosida dalam tubuh berlangsung lambat. Digitalis disebar ke hampir semua jaringan, termasuk ke eritrosit, otot skelet dan jantung. Pada keadaan seimbang, kadar dalam jaringan jantung 15-30 kali lebih tinggi daripada kadar dalam plasma, sementara kadar dalam otot setengah kadar dalam jantung. Efek maksimal baru timbul 1 jam atau lebih setelah kadar maksimal di jantung tercapai.

Digoksin dieliminasi terutama melalui ginjal. Digitoksin dimetabolisme secara aktif oleh enzim mikrosom hati dan salah satu metabolitnya adalah digoksin. Metabolisme digitoksin dapat dipercepat oleh obat yang merangsang enzim mikrosom yaitu fenilbutazon, fenobarbital, fenitoin dan rifampisin. Waktu paruh eliminasi digoksin rata-rata adalah 1,6 hari sedangkan digitoksin hampir 7 hari dan tidak berubah pada gangguan faal hati ( Kee & Hayes, 1996 ; Muchtar,A dan Z.S.Bustami, 2002 ).



c. Evaluasi

Evaluasi secara berkala gambaran ECG klien dan kadar elektrolit darah terutama kalium, karena rasio terapi digitalis sangat sempit sehingga 5-20% klien umumnya memperlihatkan gejala toksik dengan manifestasi yang sukar dibedakan dengan tanda-tanda gagal jantung. Sebab yang paling sering adalah pemberian digitalis bersama diuretic yang menyebabkan deplesi kalium dan pemberian dosis pmeliharaan yang erlalu besar ( Kee & Hayes, 1996 ; Muchtar,A dan Z.S.Bustami, 2002 ).



RINGKASAN

Gagal jantung adalah kelainan patofisiologik yang mana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan akibat dari meningkatnya beban awal atau beban akhir atau menurunnya kontraktilitas miokard.

Manifestasi klinik dari gagal jantung dilihat dari derajat latihan fisik yang dapat menyebabkan timbulnya gejala, seperti sesak nafas dan kelelahan. Untuk menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan digunakan klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association ( NYHA ), sebagai berikut : 1) kelas I, bila gejala tidak timbul dengan melakukan kegiatan fisik biasa, 2) kelas II, bila gejala timbul dengan melakukan kegiatan fisik biasa, 3) kelas III, bila gejala timbul sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan, dan 4) kelas IV, bila gejala timbul walaupun dalam keadaan istirahat.

Penanganan gagal jantung dititik beratkan pada: 1) pengurangan kerja jantung dengan membatasi aktivitas dan tirah baring, 2) pengurangan beban awal dengan menurunkan retensi cairan yang dapat dilakukan dengan membatasi konsumsi garam dan pemberian diuretik, 3) peningkatan kontraktilits miokardium dengan pemberian obat-obat inotropik ( digitalis) , dan 4) pengurangan beban akhir dengan pemberian vasodilator ( penghambat ACE, penghambat alfa-1). Penanganan dapat dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan meliputi pengkajian keperawatan, intervensi keperawatan dan evaluasi keperawatan .



DAFTAR PUSTAKA



A.Setiawati dan Z.S.Bustami. “Antihipertensi “ dalam Ganiswarna (eds.). 2002 . Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.



Carleton,P.F dan M.M.O’Donnell. “ Gangguan Fungsi Mekanis Jantung dan Bantuan Sirkulasi” dalam Price and Wilson. 1995. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih bahasa : Peter Anugerah. edisi 4. Jakarta : EGC.



DiPiro, J.T.(Eds). 1999. Pharmacotherapy, a Pathophysiologic Approach. Fourth editions. Connecticut : Appleton & Lange.



Hardman, J.G.& Limbird, L.E. & Gilman (Eds).2001. The Pharmacological Basis of Therapeutics. Tenth edition. New York : Mc. Graw-Hill.



Ignatavicius and Bayne. 1991. Medical Surgical Nursing, a Nursing Process Approach. Philadelphia : W.B.Saunders.



Katzung,B.G. 2001. Basic & Clinical Pharmacology. Eight editions. New York : Mc.Graw-Hill.



Kee and Hayes. 1996. Farmakologi, Pendekatan Proses Keperawatan. Alih bahasa : Peter Anugerah. Jakarta : EGC



Muchtar,A dan Z.S.Bustami. “Obat gagal Jantung” dalam Ganiswarna ( eds.). 2002. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.






0 komentar:

Posting Komentar